"Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx lahir".
Haji Agus Salim
Kongres Nasional VI Sarikat Islam, Surabaya, Oktober 1921
Tampaknya ada kesamaan antara Nabi Muhammad, Tan Malaka, Ali Syari'ati, dan Haji Agus Salim: pandangan tentang Islam sebagai agama yang bersifat progresif-revolusioner dan berfungsi sebagi "teologi pembebasan". Jika Marx pernah menyatakan (dan selalu mempercayai) bahwa agama adalah candu, maka tokoh-tokoh di atas dengan kepercayaannya terhadap Islam sebagai teologi pembebasan melihat agama mereka sebagai alat revolusi; aksi melakukan perubahan fundamental dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Perubahan-perubahan itu setali tiga uang dengan apa yang diinginkan oleh kaum sosialis seperti kepemilikan kolektif modal - modal produksi, masyarakat egaliter, dll sesudah sebelumnya mencapai kesadaran kelas yang dalam bahasa Ali Syari'ati disebut sebagai 'tingkat kesempurnaan masyarakat madani dan tauhidi'.
Kesamaan lainnya dari tokoh-tokoh di atas adalah posisi mereka sebagai penganut Islam, yang menganalisa dengan menggunakan sudut pandang keislaman serta kemudian menarik kesamaan antara sosialisme dan Islam itu sendiri; semuanya dengan bertumpu pada kenyataan bahwa mereka mempercayai suatu agama yang menurut Marx dan pendukung kuatnya, Nikolai Bukharin adalah sesuatu yang superstitious, naif serta berlawanan dengan kenyataan ilmiah. Mereka semua memiliki common ground tentang betapa konsep-konsep Islam sebenarnya adalah konsep yang 'membebaskan' sekaligus menaikkan 'derajat' kaum proletariat (dalam bahasa Al Qur'an disebut sebagai mustadhafin -- orang yang tertindas), karena itu revolusi seyogyanya mampu dijalankan oleh penganut Islam. Tulisan ini kemudian berusaha untuk menganalisa yaitu "Di titik mana Islam dan sosialisme bertemu?"
Pembahasan
Dalam tulisannya Spiritual Liberation - The Next Step to Economic Liberation (Bab VII dalam Programme of the World Revolution), Bukharin menjadi sosialis kesekian yang mengutip argumen Marx tentang agama adalah candu di dalam tubuh kaum proletariat yang membuat mereka justru tidak memiliki kemampuan atau kemauan untuk melakukan revolusi. Agama menjadi sebuah kekuasaan yang menindas. Surat-surat penebusan dosa diperjualbelikan dengan harga tinggi, para petinggi agama memiliki akses yang tinggi terhadap kekuasaan dan bisa bertindak sewenang-wenang, sedangkan kaum proletariat, 'dibombardir' dengan kisah-kisah manusia suci sekaligus dosa -dosa mereka. Yang membuat lebih parah adalah keadaan mereka yang tertindas seringkali digambarkan memang sudah seharusnya sebagai sebuah bentuk pengorbanan yang akan memberikan kompensasi akhir: surga. Tak heran bila Marx dan pendukung kuatnya menjadi oposisi utama dari kehadiran agama.
Adapun orang-orang Indonesia, dari dahulu sampai sekarang, secara sosiologis maupun antropologis, tidak mungkin menjadi masyarakat materialis seperti dogma Marxisme. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang selalu percaya akan adanya kekuatan lain diluar dirinya, yang menguasai alam serta isinya dan ini bersifat gaib. Ditambah lagi, sepanjang sejarah orang-orang Indonesia bukanlah manusia-manusia yang dihadapkan pada pilihan sekularisasi secara besar-besaran. Mereka membawa agama dan keyakinan sebagai hal yang tetap penting dalam menerjemahkan fenomena yang mereka hadapi atau alami. Keyakinan itu adalah Islam yang adalah agama dominan di Indonesia. Tan Malaka, misalnya, lahir dan berkembang di Sumatra Barat yang didominasi oleh kultur Nagari yang sangat terpengaruh dengan sistem kekhalifahan khas Islam-Arab.
Sebutlah Tan Malaka, Haji Agus Salim atau Ali Syari'ati adalah orang-orang yang mampu melawan argumen Bukharin, "Many weak-kneed communists reason as follows: 'Religion does not prevent my being a communist. I believe both in God and in communism . My faith in God does not hinder me from fighting for the cause of the proletarian revolution. 'This train of thought is radically false. Religion and communism are incompatible, both theoretically and practically. "Tokoh-tokoh ini memiliki kepercayaan bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad adalah ajaran sosialisme. Ulil Abshar Abdala, intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL), menguatkan pandangan ini dengan menyatakan bahwa jika seseorang mengaku sebagai penganut Islam, maka seharusnya mereka membawa watak sosialisme di dalam pemikiran mereka. Tetapi, kenyataannya, tidak satu partai Islam-pun di Indonesia yang membawa panji-panji sosialisme, bahkan banyak yang menentangnya.
Bukharin Tentang Mengapa Agama dan Komunisme Tidak Berkesesuaian
"The Transition from socialism to communism, the transition from the society which makes and end of capitalism to the society which is completely freed from all traces of class division and class struggle, will bring about the natural death of all religion and all superstition".
Dalam tulisannya bersama Phreobazensky, The ABC of Communism, Bukharin menyampaikan argumen bahwa setiap kaum komunis harus melihat fenomena sosial (hubungan antar manusia, revolusi, dll) sebagai proses yang terjadi berdasarkan hukum yang mutlak. Hukum pembangunan sosial secara penuh dikembangkan oleh komunisme dan sosialisme ilmiah di atas dasar teori materialisme historis. Teori ini menjelaskan, salah satunya, bahwa perkembangan sosial tidak dibawa oleh satu kekuatan gaib apapun.
Bukharin melihat, ketidakberdayaan kaum kelas pekerja dimanfaatkan oleh kaum borjuis dengan berusaha mengabadikan pemikiran religius mereka. Bukharin menyebutnya sebagai pemikiran dan kepercayaan yang kekanak-kanakkan, terutama terhadap keajaiban atau mukjizat yang diklaim oleh kaum borjuis (bersama institusi Gereja) sebagai kenyataan. Lagi, Bukharin menyatakan bahwa kunci dari teka-teki kebenaran mukjizat adalah sangat tergantung pada 'pundi-pundi dan kantong uang para pengeksploitasi'.
Bagi Bukharin, ada konflik yang tidak dapat direkonsiliasi antara prinsip-prinsip taktik kaum komunis dengan perintah-perintah dan ilmu agama. Misalnya saja ketimpangan asal-usul manusia atau konsep di dalam Injil yang berbunyi "Whosoever shall smite thee on thy right cheek, turn to him the other also ". Kaum kelas pekerja dianggap Bukharin sudah terlalu sering menyediakan 'pipi kanannya untuk ditampar, setelah yang kiri telah diperlakukan sama'. Watak seperti ini membuat kelas pekerja yang bergantung pada pandangan naïf bahwa agama hanya sekadar jalan menuju surga (atau pilihan lain, neraka) kemudian 'mengamalkan' konsep di atas tanpa melihat bahwa inilah konsep yang dipertahankan oleh para pengeksploitasi untuk kemudian dihiasi dengan keinginan-keinginan untuk mengumpulkan kapital.
Mustadhafin dan Mustakbiri serta Sosialisme Islam
Dalam menjawab pertanyaan tentang di titik mana Islam dan sosialisme bertemu, sebelumnya harus dimulai dengan mencari tahu bahasa antagonisme kelas Islam yang sama dengan bahasa antagonisme kelas sosialisme. Dimulai dari kaum-kaumnya, Al-Qur'an beberapa kali menyebutkan kaum-kaum yang bernama mustadhafin dan mustakbirin. Dalam bahasa Marxis, mustadhafin adalah sama dengan kaum proletariat; kaum yang 'terlucuti' dan mustakbirin adalah sama dengan kaum borjuis; kaum penindas, dari era feodalisme hingga kapitalisme modern.
Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini menjadikan Mekkah sebagai pusat kapitalisme, terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Nabi Muhammad, lahir di di atas keadaan ini .
Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang tak berada yang penghidupannya bergantung pada pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih sangat awam serta menyembah banyak sekali subyek gaib. Perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup. Ada banyak budak, janda dan anak yatim yang nasibnya tak kalah mengenaskan. Muhammad sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun keturunan bangsawan suku Quraisy. Ia diutus oleh Tuhan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia terpaksa melarikan diri dari Mekkah ketika ajaran pembebasannya ditolak.
Muhammad, yang secara harfiah berarti manusia yang terpuji, diklaim sebagai nabi terakhir dan merupakan tokoh revolusioner pertama di zaman modern. Ia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.
Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya dimana masyarakat menggantungkan hidup. Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad dengan ajaran-ajarannya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat Muhammad yang dulunya juga seorang budak. Dengan sahabat dan para pengikutnya inilah, Muhammad berjuang membebaskan 'mustadhafin' dari monopoli 'mustakbirin'.
Dalam bahasa Islam, ada terma-terma yang sama dengan bahasa sosialisme serta pemikiran Marxis; konsep-konsep seperti kesadaran kelas, antagonisme kelas, masyarakat tanpa kelas, perlawanan terhadap kapitalisme hingga 'expropriation of the expropriator'.
Kesadaran Kelas
Ali Syari'ati, intelektual muslim Iran yang juga seorang sosialis, pernah menyatakan bahwa kaum muslim di masa Muhammad yang didominasi oleh orang-orang yang tertindas telah mencapai kesadaran kelas mereka. Syari'ati menyampaikan bahwa indikator kesadaran kelas itu ada tiga pilar (yang harus dicapai dengan pemberontakan untuk memperbaiki nasib) yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan daya cipta. Ketika suatu kelas telah mencapai ini, maka mereka telah mencapai kesadaran yang sejati. Berbeda dengan kaum mustakbirin yang akan terus mendapatkan false consiousness apabila mereka, setelah dikalahkan oleh mustadhafin kemudian menganggap diri mereka sebagi kaum kontra-revolusioner.
Perjuangan Kelas
Al Qur'an Surat Al Ra'du ayat 11 berbunyi demikian: "Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka". Dari penafsiran ayat ini, terlihat bahwa bila kaum mustadhafin tidak mengubah keadaan mereka sendiri dengan berjuang melepaskan belenggu yang dililitkan mustakbirin di leher dan di kakinya, maka mereka tetap akan tertindas dan miskin. Kaum mustadhafin tidak akan berubah keadaannya, bila mereka hanya mengharap belas kasihan kaum mustakbirin. Kaum mustakbirin tidak akan dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka pasungkan pada leher dan kaki mustadhafin . Perjuangan melepaskan belenggu dari tubuh kaum mustadhafin adalah perjuangan kelas dalam bahasa Karl Marx baik dengan cara-cara reformasi atau revolusi. Ini juga sesuai dengan pernyataan Marx yang sangat terkenal di dalam karyanya, The German Ideology; "The proletarians have nothing to lose but their chains. They have a world to win. Workingmen of all countries, unite! "
Aksi Melawan Kapitalisme
Di dalam Al Qur'an Surat Al An'am ayat 145 dikatakan bahwa dilarang untuk meminum darah yang mengalir. Penafsiran ayat ini sebenarnya lebih dalam dari sekadar, misalnya, menggores tubuh seseorang dengan benda tajam kemudian meminum darahnya, tetapi juga lebih dari itu. Ayat ini juga berarti bahwa ketika seseorang atau suatu kaum yang berkuasa kemudian menghisap keringat budak-budak yang ia miliki, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian orang lain (oleh Marx disebut sebagai "meerwaarde" - nilai lebih), maka itu sama dengan meminum darah yang mengalir. Konsep Islam sebagai teologi pembebasan sangat melarang hal ini. Ini dapat dijadikan justifikasi bahwa Islam - sosialisme Islam, memerangi kapitalisme hingga ke akar-akarnya. Meerwaarde dalam bahasa Islam adalah sama dengan riba.
Kaum Proletariat Yang Menjadi Pemimpin
Dalam Al Qur'an Surat Al Qashas ayat 5-6 ditegaskan bahwa Islam meninggikan posisi kaum mustadhafin dan mendukung perjuangan mereka untuk mengalahkan kaum mustakbirin serta menjadikan kaum mereka sebagai pemimpin yang tidak korup. Ini menjelaskan betapa Islam tidak netral dalam bersikap melihat konflik antara kaum mustadhafin dan kaum mustakbirin. Ini sangat mencerminkan sosialisme itu sendiri, terutama konsep yang ditawarkan oleh Karl Kautsky, 'the expropriation of the expropriator'. Kaum mustadhafin adalah kaum pengambil alih yang melakukan cara-cara yang dapat menutup keran kapitalisme serta korupsi kaum mustakbirin.
Sayangnya, Islam kemudian malah tumbuh menjadi sistem yang memapankan kekuasaan mustakbirin; Islam menjadi sekadar ritual yang keberadaannya justru menjustifikasi keputusan-keputusan yang memundurkan kaum mustadhafin. Misalnya saja kekuasaan syah di Iran sebelum berlangsungnya revolusi. Para ulama hanya dijadikan tempat meminta justifikasi terhadap kebijakan-kebijakan yang sebenarnya bersifat tiran. Revolusi Iran sendiri sebenarnya juga dimotori oleh kebangkitan konsep sosialisme Islam. Aspirasi menjadikan kaum mustadhafin menjadi pemimpin adalah karena ada kecenderungan bahwa mereka yang tertindas justru adalah yang paling demokratis dan paling egaliter, suatu konsep yang juga populer di kalangan kaum sosialis / komunis.
Masyarakat Tanpa Kelas
Tauhid adalah pegangan semua ajaran yang bersumber dari Islam. Tauhid tidak selalu harus dilihat sebagai cara melihat Tuhan yang satu, tetapi juga aspek yang lain. Tauhid dalam perspektif "teologi kaum tertindas" lebih ditekankan kepada keesaan ummat manusia. Dengan kata lain, doktrin konsep tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta ataupun kelas. Konsep masyarakat tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas yang diinginkan pula oleh kaum sosialis / komunis. Dalam masyarakat tauhidi ini, masyarakat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena kedudukan sosial, jenis kelamin, warna kulit, dll. Dan itu adalah sama dengan cita-cita masyarakat komunis.
Islam Sebagai "Teologi Pembebasan"
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di kawasan Eropa pada abad ke-20 dan menjadi konsep penting dalam studi agama; melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan sudut pandang baru untuk memperbaiki sistem sosial manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan ideologi manusia itu sendiri.
Ada beberapa doktrin yang dibawa oleh teologi pembebasan secara umum, yaitu: 1) gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3 ) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) suatu pembacaan baru terhadap teks keagamaan, 5) perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
Dalam melihat Islam sebagai teologi pembebasan, karya dan pemikiran seorang Ali Syari'ati dapat menjelaskan secara gamblang konsep 'membebaskan' dalam Islam. Ali Syari'ati termasuk ke dalam mereka yang menjadi saksi sejarah betapa rezim Syah di Iran menciptakan Islam yang terbatas pada ritual yang sama sekali tidak menyentuh aspek-aspek politik dan sosial kemasyarakatan; tanpa petunjuk untuk melawan kebodohan atau strategi menciptakan keadilan. Bagi Syari'ati, Islam gaya rezim Syah di Iran adalah Islam rigid dan bergaya penguasa, sementara Islam progresif-revolusioner adalah Islam yang bergaya " Abu Dzar "; kreasi simbolis Syari'ati sebagai seorang muslim yang tegar, revolusioner yang mengkhotbahkan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan pembebasan dalam buku karyanya, Abu Dzar-e Ghifari.
Gagasan Syari'ati tentang Islam revolusioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari'ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Agama yang seperti inilah yang membuat Marx menyatakan bahwa ia adalah candu yang menghibur kaum tertindas yang sedang 'bersusah hati' dan alfa melihat ketidakadilan di sekitar mereka.
Lihatlah bukti ketika Muhammad mengadakan perlawan terhadap kaum kapitalis di Mekah. Kaum kapitalis sebenarnya memiliki ketakutan yang lebih mendasar daripada sekadar kehilangan berhala-berhala mereka. Ketakutan itu bersumber dari ketidaknyamanan menerima doktrin egalitarian Muhammad yang akan memberikan konsekuensi sosial ekonomi yang besar bagi mereka. Karena itu , tidak seperti yang orang banyak ketahui, sebenarnya persoalan Muhammad dengan kaum kapitalis Mekah bukan hanya sekadar persoalan "agama baru".
Syari'ati dalam bukunya Eslamshenasi (Islamology) menyatakan bahwa kesyirikan tidak saja berarti menolak Tuhan. Jika pada zaman Jahiliyyah di Mekah, tuhan-tuhan palsu itu dimanifestasikan dalam wujud berhala-berhala, maka pada zaman modern ini, tuhan-tuhan palsu terwujud dalam banyak aspek dan bidang yang lebih luas dan komplek dari sekadar berhala-berhala sesembahan yang dianggap syirik atau menyimpang. Perwujudan modern kesyirikan dapat dijumpai pada kasus di mana orang melakukan tindakan yang merupakan monopoli Tuhan, dengan begitu berarti menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan.
Penutup
Sosialisme selalu dijadikan bahan perdebatan karena ia sendiri adalah konsep yang 'multi-interpreted'. Ia lebih sering dikaitkan dengan kepercayaan seseorang atau kelompok tentang bagaimana seharusnya sosialisme itu dan apa yang harusnya dilakukan untuk menuju sosialisme. Intinya, 'socialism is more a question of belief than a question of debate '. Tetapi, yang menjadikan pemikiran sosialisme Islam berbeda adalah sumber-sumber yang memperlihatkan kesamaan Islam dengan nilai-nilai yang dipegang erat oleh kaum sosialis / komunis adalah sumber-sumber yang dipercaya tidak dibuat oleh manusia melainkan sebuah wahyu yang membuatnya terlepas dari prasangka atau rancangan kaum tertentu untuk mengontrol kaum lain. Terlepas dari benar salahnya hal ini, pemikiran Marx adalah sebuah metode, bukan dogma. Pemikiran Marx adalah sesuatu yang masih dapat dipatahkan, layaknya sebuah teori yang akan selalu mengandung ketidaksempurnaan di dalamnya.
Terlepas juga dari dapat diterima atau tidaknya sosialisme Islam, paling tidak Tan Malaka, Ali Syari'ati atau Haji Agus Salim telah cukup berhasil menjadikan agama sebagai poppy seed; menggunakan agama secara konkret sebagai 'pemberi rasa' dalam aspek nyata kehidupan; bukan candu yang mematikan potensi revolusioner dalam diri mereka. Kritik Bukharin dapat djabarkan dengan definisi baru bahwa seharusnya eksistensi beragama tidak bisa diukur sejauh mana ia berhubungan dengan Sang Khalik, tetapi sejauh mana ia telah mentransformasikan nilai-nilai keilahian pada kehidupan sosial.
Kaum muslim secara umum selayaknya selalu mempersiapkan diri untuk membangun pendekatan dalam menerima dan menyebarkan Islam yang dinamis yang dapat secara berkelanjutan direvisi, yang dapat menyesuaikan diri dengan isu dan fenomena yang terjadi di dunia dan lingkungannya serta menjadi cukup imajinatif dalam menangkap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di dalam model formal yang terkadang sulit ditebak-sebagaimana dapat kita sebut sebagai "sustainable curiousity".
Referensi:
• Bukharin, Nikolai I., Programme of the World Revolution (Chapter. XVII Spiritual Liberation - the Next Step to Economic Liberation
http://www2.cddc.vt.edu/marxists/archive/bukharin/works/1918/worldrev/ch17.html
• Bukharin, Nikolai I.; Phreobazensky, Edward, The ABC of Communism (Chapter XI: Communism and Religion, 89. Why Religion and Communism are Incompatible), 1920, Marxist Work Archive (online), November 3, 2008,
• Haque, Ziaul. Wahyu dan Revolusi. 2001. LkiS. Yogyakarta.
• Wahono, N. Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya. 2000. LkiS. Yogyakarta.
artikel yg mencerahkan
ReplyDelete