Friday, November 27, 2009

Freire on Pedagogy of the Opressed

Bagi Freire, tujuan utama dari pedagogi kaum tertindas adalah sangat umum; membebaskan kaum tertindas dari kenyataan sejarah yang subyektif dan ’memasukkan’ mereka ke ’tempat’ yang lebih objektif, dimana mereka mampu membebaskan pikiran dan tindakan mereka. Pedagogi kaum tertindas adalah pedagogi yang hanya dapat dijalankan oleh kaum tertindas, tetapi pada prinsipnya akan membebaskan setiap kaum, termasuk kaum penindas itu sendiri karena kaum penindas tidak akan pernah dapat membebaskan diri mereka sendiri.
Kaum tertindas seringkali mengalami tekanan atas cara berpikir dan bertindak mandiri, atas hak dan keharusan untuk menjadi manusia seutuhnya, atas hak untuk menjadi bagian dari kenyataan obyektif dan hak untuk membuat perubahan melalui revolusi. Ini semata-mata karena kaum tertindas harus dipertahankan sebagai kaum yang tidak pernah mencapai kesadaran serta harus terus terperangkap dalam false generosity yang dilancarkan oleh kaum penindas.
Keadaan di atas semakin diperparah ketika kaum tertindas tidak memiliki sumber political power yang memadai untuk melawan kaum penindas. Tetapi, Freire merumuskan sumber lain yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh kaum tertindas, yaitu dengan menciptakan kecenderungan pembebasan pikiran melalui proses edukasi yang kemudian akan merumuskan pedagogi kaum tertindas.

Pedagogi kaum tertindas, dalam konteks perlawanan, kemudian menjadi penting untuk berbagai alasan, yaitu:
1) pedagogi semacam ini akan membantu kaum tertindas menciptakan kesadaran bahwa perlawanan yang mereka lakukan bukan semata-mata untuk changing poles tetapi lebih untuk merestorasi sisi kemanusiaan, baik pada kaum tertindas maupun kaum penindas,
2) pedagogi kaum tertindas adalah jalan untuk menuju kesempurnaan fase praksis dalam perlawanan kaum tertindas,
3) pedagogi kaum tertindas bertindak sebagai reflektor bagi kaum tertindas; ”explaining to the masses their own action”,
4) untuk mencapai tujuan pembebasan, kaum tertindas harus menghadapi realitas secara kritis dan hanya pedagogi kaum tertindaslah yang memungkinkan hal ini, mencegah dari munculnya false substitute,
5) kaum tertindas menggunakan pedagogi kaum tertindas untuk menghapuskan semua kultur dominasi dan penindasan sekaligus menggunakannya sebagai landasan transformasi,
6) pada akhirnya, pedagogi kaum tertindas akan menjadi pedagogi milik semua kaum dalam proses pembebasan yang permanen.



“Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”… Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.”(1)

(1) M. Manggeng, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia, INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual, Edisi No. 8, Semester Genap 2005, hal. 41-42, . Diunduh pada 24 November 2008.

No comments:

Post a Comment