Saturday, November 14, 2009

Hip-Hop Jawa di Yogyakarta: The Living Proof of Iconization and Globalization



Tulisan ini merupakan penyampaian individual dari proyek kelas kelompok untuk Mata Kuliah Globalisasi yang diampu oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed dan Muhadi Sugiono. Metode utama pelaksanaan proyek kelas adalah studi literatur serta studi lapangan. Narasumber utama untuk studi lapangan adalah Dimas Pas dari Jogja Hip-Hop Foundation dan Yayasan Berkata-Kata Cepat Yogyakarta serta Jefry dan Yayan dari grup hip-hop Jawa asal Yogyakarta, “Sakit”.
___________________________________



Tampaknya, orang Indonesia (atau sebagian) memiliki strategi yang mumpuni dalam mewujudkan ’hidup’ yang koeksisten sekaligus resisten dengan hal-hal yang datang dari luar. Ini bisa kita lihat dari banyak hal. Sebut saja ”Bajaj Bajuri” atau ”Hip-Hop Jawa”. Ketika televisi didominasi oleh opera sabun yang formulanya mencontoh serial Amerika Serikat seperti ”The Bold and The Beautiful” atau yang lebih lawas seperti “Dinasty” (dengan set maha megah dan gaya hidup yang seakan tidak terjangkau) serial televisi ”Bajaj Bajuri” menelusup masuk sebagai ’kuda hitam’ di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia dan menawarkan ide lain: melihat wajah bangsa sendiri. Pemain dan dialognya diset sangat sederhana, ide cerita pun berkutat pada kepelikan sehari-hari yang dialami kaum kelas menengah ke bawah yang hidup di dalam hiruk-pikuk hutan beton ibukota Jakarta.




Padahal, yang mungkin tidak disadari pemirsa, ide cerita dan setting serial ”Bajaj Bajuri” sangatlah diinspirasi oleh gerakan ”Iran New Wave Cinema” yang dipelopori oleh sutradara seperti Majid Majidi, Abbas Kiarostami, dll dimana plot ceritanya berjalan ringan, sederhana, dan mengangkat hal-hal kecil yang sering dianggap sebelah mata di dalam formula film Hollywood. Tetapi, di sisi lain, gaya penyutradaraan, teknik pengambilan gambar, proses editing, dll, sangat dibantu oleh teknologi perfilman yang munculnya tak lain dan tak bukan adalah dari budaya Hollywood itu sendiri. Apakah ini dapat disebut sebagai hasil sinkretisasi ”budaya layar”? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Relatif, begitu kata kebanyakan orang. Tetapi, bergantung pada relativitas tentu akan membuat kita tidak mandiri dalam mencari informasi yang dibutuhkan untuk memutuskan sesuatu itu ’ya atau bukan’, ’salah atau benar’, ’pantas atau tidak pantas’.




Hip-hop Jawa pun dapat dikatakan demikian; ia ’menjaring’ nilai dan simbol yang dianut oleh ”hip-hopper” sejati serta memasukkan ide-ide yang berbasis pada budaya leluhur. Padanan dua kata tersebut mungkin terasa asing atau aneh di telinga beberapa orang, tetapi harus diakui, ini adalah sebuah fenomena kultur anak muda yang muncul, terutama di Yogyakarta dan Surabaya, pada permulaan tahun 2000-an. Konsep ini menggabungkan ’nilai-nilai konservatif’ hip-hop dengan nilai-nilai dan simbol budaya Jawa. Dengan mengusung tema ’mendokumentasikan globalisasi di lingkungan sekitar’, penulis berusaha untuk memaparkan analisa mengenai fenomena hip-hop Jawa dan tesis tentang ia sebagai hasil hibridisasi atau sinkretisasi budaya. Dalam pemaparannya, tulisan ini akan membahas beberapa hal yang akan membantu memahami mengapa hip-hop Jawa dapat disebut sebagai hasil hibridisasi budaya. Hal-hal tersebut meliputi penjelasan tentang konsekuensi kultural dari proses globalisasi, genre musik hip-hop, hip-hop Jawa itu sendiri. Pertanyaan utama dari tulisan ini adalah: ”Apakah hip-hop Jawa merupakan hasil hibridisasi budaya?” serta ”Apakah fenomena hip-hop Jawa di Yogyakarta merupakan suatu reaksi perlawanan atas intrusi budaya asing?”




Dampak Kultural Proses Globalisasi


Konsekuensi kultural dari proses globalisasi dalam berbagai karya literatur akan sebagian besar menjurus kepada perdebatan tiga ide. Yang pertama adalah tesis homogenisasi dimana proses globalisasi itu kemudian cenderung menghasilkan konvergensi budaya. Yang kedua, tesis polarisasi dimana globalisasi kemudian menghasilkan sebuah ’cultural wars’ antara Barat dan lawan-lawannya serta kemudian tesis hibridisasi atau sinkretisme yaitu tesis yang berargumen bahwa globalisasi mendorong adanya percampuran berbagai sistem ataupun hasil dari sistem berbagai kebudayaan yang terjadikarena adanya ’cross-border exchange’.
Tesis homogenisasi yang erat dengan konsep-konsep seperti “Coca-Colanization” atau “McDonaldization” mencerminkan adanya kepercayaan bahwa aktivitas ekonomi global akan diikuti oleh terciptanya kultur global. Dari titik ini, hegemoni pun menjadi setara dengan konsep “Westernisasi” atau “Amerikanisasi”. Penyebaran ekonomi pasar dan strategi-strategi global dari berbagai MNC memungkinkan adanya proses homogenisasi. Konsumen kapitalisme jenis ini adalah tipe konsumen yang terbentuk dari intensifikasi ’standardized brand image’, pemasaran masal serta status tinggi yang disematkan oleh penduduk Negara Dunia Ketiga kepada berbagai produk Barat. Kritik terhadap tesis homogenisasi adalah bahwa asosiasi kultural globalisasi dengan Amerikanisasi atau Westernisasi adalah sesuatu yang berlebihan.




Tesis polarisasi seringkali berbasis pada studi orientalisme atau studi Barat yang menegaskan bahwa terdapat cultural wars antara kedua polar ini, dimana orang Barat adalah ‘the Self’ dan orang Timur adalah ‘the Other’ atau posisi sebaliknya. Pada akhirnya, hibiridisasi menjadi penengah dari kedua tesis ini yang juga kemudian akan menjadi landasan dari argumen utama di dalam tulisan ini yaitu bahwa hip-hop Jawa, sesuai dengan karakteristiknya yang memenuhi standar adalah dapat disebut sebagai hasil hibridisasi budaya. Tesis hibridisasi berpusat pada argumen adanya ‘intercultural exchange’ serta perpaduan berbagai elemen kebudayaan dari berbagai macam sumber di dalam suatu praktek kebudayaan – atau dengan kata lain, ada sebuah dialog ’global dan lokal’ yang membuat sebuah komunitas merasa bahwa beberapa nilai dari komunitas lain di tempat yang berbeda adalah bagian dari diri mereka sendiri.


…the hybridization theory argues that culture is becoming more differentiated within nation states, establishing a parallel trajectory with the increase in consumer choices. Arguably, the intensification of flows (capital, knowledge, people) has accelerated the relationship between local and global culture creating a hybridization that may appear increasingly Western, but really remains a dialogue or negotiation between the local and the global.


(Lorenzen, Janet. Global Consumption: McDonaldization or Multicultural Hybridization? (2007). Rutgers University. p. 9.)


Di dalam payung besar tesis hibridisasi, sebuah sub-tesis bernaung di dalamnya yang disebut oleh David Drissel (2003) sebagai tesis ‘rekontekstualisasi’. Ia berarti “peminjaman” obyek-obyek kultural dari satu konteks tertentu dengan tujuan untuk digunakan di dalam konteks sosial yang lain. Tesis rekontekstualisasi-pun sangat tepat dalam menggambarkan globalisasi dan lokalisasi hip-hop sekaligus juga menjelaskan sebab rasional terjadinya hibridisasi budaya yang salah satu bentuknya adalah hip-hop Jawa. Para penerima komoditas globalisasi, dalam hal ini adalah seniman musik hip-hop di Yogyakarta, tidak serta-merta dapat diklaim sebagai agen pasif yang kemudian tidak terlibat di dalam proses aktif untuk beradaptasi dan memodifikasi nilai-nilai kultural dari luar yang didasarkan pada keadaan lokal serta dibangun di atas pengetahuan dan sumber-sumber lokal. 


Globally available cultural products can provide the impulse for a locally enacted symbolic creativity…


( Drissel, David. Hip-Hop Hybridism: Diasporic Youth Constructing Black-Inflected Identities. Paper presented at the annual meeting of the American Sociological Association, New York, New York City. August 10, 2007. p. 8).




Hip-Hop: Genre Musik dan ”Gerakan Kebudayaan”yang Mengglobal






Seperti yang tertera pada tajuk di atas, hip-hop adalah suatu genre musik sekaligus sebagai suatu gerakan kebudayaan yang lahir pada pertengahan tahun 1970-an, terutama di daerah Bronx selatan, New York. Ia lahir dari tangan sekelompok anak muda kulit hitam (dan beberapa dari kaum Hispanik) yang berbagai pengalaman yang sama tentang kondisi kelas di Amerika Serikat yang pada waktu itu kental oleh sentimen rasial. Mereka teralienasi dari kehidupan mapan kaum kulit putih menengah yang jauh lebih terdidik serta kemanan sosialnya jauh lebih terjamin. Dengan kata lain: hip-hop lahir dari kondisi ketidakadilan dan kemiskinan. Ia dapat dikatakan sebagai strategi resistensi sekaligus bentuk ekspresi kaum tersebut tentang keadaan mereka, serta sangat sering disusupi ide-ide tentang bagaimana orang kulit hitam atau Hispanik sangat berbeda dari orang kulit putih dalam banyak hal.




Budaya hip-hop terdiri dari berbagai macam unsur. Mulai dari rapping atau MC-ing (bentuk utama dari hip-hop sebagai genre musik), turntabling atau DJ-ing, bahasa slang, grafiti, tarian (breakdance, krump, dll), hingga mode pakaian, rambut serta aksesori. Sebagai suatu genre dan gerakan yang lahir dari suatu kawasan di daerah Bronx selatan yang sangat identik dengan ghetto atau lingkungan tempat tinggal kaum kelas bawah yang biasanya kumuh dan ditinggali oleh kaum minoritas tertentu, hip-hop adalah tentang pengagungan otentisitas, terutama yang mendefinisikan tentang siapa itu kaum kulit hitam (atau Hispanik) serta siapa itu kaum kulit putih.


At some overt level, hip-hop has always been about the cultural identity of those who perform the music, and those who constitute its core audience. This concern over identity is generally bounded by two other primary issues: a politics of location and an overall search for that which is considered authentic.


(Boyd, Todd. The New H. N. I. C (Head Niggas in Charge): The Death of Civil Rights and the Reign of Hip-Hop. (2003). New York University Press: New York and London. p. 18.)


Hip-hop itu sendiri sebenarnya berakar dari aktivitas African Diaspora selama ribuan tahun. Sebutlah demikian: ia adalah hasil budaya yang tercipta dari perpindahan orang Afrika yang diperbudak oleh bangsa kulit putih. Ini dibuktikan dengan perpaduan unsur dalam hip-hop yang sangat kental dengan nuansa tarian, ekspresi dan aspek linguistik dari budaya Afrika. Mengapa kemudian diaspora orang Afrika bisa membuat mereka mempengaruhi budaya hip-hop yang muncul di luar benua mereka? Bukankah mereka ditempatkan di daerah-daerah yang berbeda dan tidak diberi hak untuk mempertahankan identitas kultural mereka? 


Brent Hayes Edward dalam tulisannya, The Uses of Diaspora
( Lihat Edward, Brent Hayes. “The Uses of Diaspora”. (2001). Journal of Social Text, Vol. 19, No. 1), menyatakan bahwa definisi diaspora juga menyangkut ”pertanyaan tentang asal-usul” sehingga kemudian sangat berkaitan dengan pembentukan identitas kolektif. Dengan demikian, sejarah hip-hop itu sendiri sangatlah dekat dengan sejarah opresi terhadap kaum kulit hitam serta ekspresi kultural mereka selama berabad-abad yang terkait dengan opresi tersebut.


Awalnya, hip-hop sendiri banyak berfokus pada kehidupan penjual obat-obatan terlarang di wilayah ghetto serta mimpi menjadi pemain bola basket terkenal. Kedua hal ini adalah impian utama anak muda kulit hitam dan Hispanik pada era tahun 1970-an, dimana hanya kedua ‘profesi’ inilah yang menurut sebagian besar dari mereka akan memberikan efek respek dari orang-orang di sekitar mereka serta, tentu saja, kemakmuran, sehingga dapat lepas dari kemiskinan hidup.






 Gaya musiknya yang dinamis dan mencerminkan pembebasan dari berbagai macam kerangkeng moral serta institusi di Amerika Serikat pada waktu itu membuat hip-hop menjadi genre musik yang cepat populer, bahkan mengglobal dan kemudian diterima dengan penyesuaian terhadap nilai-nilai kultural tertentu di daerah tersebut.




Pada dekade 1980-an dan awal 1990-an, hip-hop menjadi sangat besar di Amerika Serikat dengan berbagai perkembangan signifikan. Ia menjadi lebih keras dan lebih kritis menanggapi keadaan sosial-politik di sekitar mereka, dari dampak perbudakan hingga pengecaman terhadap berbagai kelompok kulit putih rasis seperti Klu Klux Klan atau Neo-Nazi. Budaya kekerasan kemudian menjadi sesuatu yang juga salient di dalam musik hip-hop, terutama yang berhubungan dengan ’kemarahan’ anak muda kulit hitam yang membuat kemudian membuat sebagain dari kita melihat hip-hop dengan citra gangster, pertikaian dengan senjata api hingga misoginitas. Seniman hip-hop yang berpengaruh di Amerika Serikat seperti Wu Tang Clan, N. W. A. (Niggas with Attitude), Public Enemy, Run DMC atau individual seperti Tupac Shakur adalah pengusung utama ide-ide ini.




Tetapi, menghubungkan hip-hop dengan kekerasan pun bukanlah suatu hal yang dapat dianggap benar, karena ia pun digunakan dengan cara yang positif oleh banyak anak muda kulit hitam dan Hispanik. Hip-hop sendiri awalnya memang juga diasosiasikan dengan saluran nir-kekerasan untuk mengekspresikan pikiran serta pendapat dalam cara yang menyenangkan, menghibur sekaligus juga menegaskan identitas yang berbeda dari ras atau kelas yang lain.






Hip-Hop Jawa di Yogyakarta


Di Jogja Hip-Hop Foundation, hampir setiap crew memiliki komposisi rap dalam bahasa Jawa. Selebihnya campuran antara Inggris-Indonesia-Jawa. Kami tidak tahu, apakah ini sebuah anugrah atau justru representasi atas ke-udik-an, ketika melihat seorang anak muda berumur 20 tahunan memilih bahasa Jawa sebagai bahasa ungkapan dalam sebuah medium ekspresi yang trendy? Yang pasti ini bukan semangat revitalisasi bahasa tradisional, kita bukan generasi yang memikul beban itu, juga tidak sedang memperjuangkan apa pun atau sedang melawan apa pun. Ini bukan tentang underground atau major, bukan tentang kapitalis atau umpatan khas rap yang ‘f***’ the system’ itu, lebih pada bahwa hip-hop adalah kejujuran: apa bahasa ungkap yang paling akrab di mulut kamu. Seberapa keren kamu berusaha belajar bahasa Inggris, kemudian kamu belajar nge-rap sebagai epigom atas Eminem, tetap saja dari dialeg dan aksen kamu akan kelihatan dari mana kamu berasal. Dalam estetika rap, aksen unik adalah nilai lebih, kamu tidak perlu menutup-nutupi hal itu dengan berusaha menjadi orang lain.


Kutipan dari Pengantar CD Album Poetry Battle II, 2008
Jogja Hip-Hop Foundation dan Yayasan Berkata-Kata Cepat Yogyakarta


Hip-hop telah menjadi suatu kultur anak muda global yang menelusup hingga ke ruang-ruang terkecil di dalam dinamika kehidupan mereka, termasuk di Indonesia. Awalnya, keberadaan hip-hop di Indonesia jelas bermula dari Jakarta yang selalu menjadi kiblat gaya hidup serta tren di Indonesia. Di Jakarta ini, hip-hop awalnya masih mengikuti ’mimik’ maupun pendekatan hip-hop Amerika Serikat, terutama gaya berpakaian, bahasa, bebunyian atau alat musik pengiring yang digunakan, dll.





Tetapi, esensi lokal pun tetap membuat hip-hop ternyata tidak berdaya dalam melawan intrusi identitas tertentu. Iwa K bisa jadi adalah pionir utama hip-hop lokal di Indonesia, terutama dengan single ketiganya dari album “Ku Ingin Kembali” yang dirilis pada tahun 1993 berjudul “Batman Kasarung” yang keseluruhan liriknya menggunakan bahasa Sunda; 


Iwa membawa rap ke dalam bahasa Sunda atau sebaliknya, dan dengan cerdik bermain-main dengan sebuah ikon dunia Barat dalam bingkai yang begitu tradisional”.


(Gitomartoyo, Wening. “150 Album Indonesia Terbaik: #117 Iwa K ‘Ku Ingin Kembali’”. Majalah Rolling Stone Indonesia – Special Collector’s Edition, Desember 2007, Edisi 32. hal. 82).


Genre ‘hip-hop lokal’ menjadi marak, termasuk di Yogyakarta sendiri. Kebudayaan Jawa, dari filosofi hingga kebiasaan hidup, menjadi sumber inpirasi utama materi di dalam lirik-lirik seniman hip-hop Jawa, terutama di Yogyakarta. Ini kemudian dipadu dengan nilai-nilai konvensional hip-hop yang juga sudah ’pakem’ seperti bahasa slang, gaya pakaian, gaya panggung, attitude, bunyi-bunyian pengiring, dll. Seniman hip-hop Jawa Yogyakarta seringkali menggunakan batik tetapi dengan gaya berpakaian ala hip-hop yang serba ’big size’, bebunyian asli Jawa yang digabungkan dengan bebunyian ala hip-hop atau alat musik elektro modern. Mereka sering menyebut gaya mereka sebagai gaya ’Javanese ghetto’.
Di Yogyakarta sendiri, komunitas hip-hop pertama kali dibentuk pada tahun 2003 di bawah bendera ’Jogja Hip-Hop Foundation’ oleh Mohamad Marzuki atau seringkali dipanggil dengan nama rapper-nya ’Kill The DJ’. Komunitas hip-hop ini juga merupakan suatu perkumpulan yang erat kaitannya dengan Yayasan Berkata-Kata Cepat Yogyakarta. Gaya hip-hop yang dibawa oleh komunitas hip-hop di Yogyakarta ini lebih banyak bercerita tentang kehidupan sehari-hari, adaptasi pusisi-pusi dan literatur tersohor nusantara.


Pionir-pionir hip-hop Jawa di Yogyakarta pun menjadi pionir dari pembentukan Jogja Hip-Hop Foundation. Dari Mohamad Marzuki (Kill The DJ), DJ Vanda serta grup hip-hop Jawa senior yang muncul medio 1990-an seperti G-Tribe, Rotra atau Jahanam. Selain membawakan karya sastra Jawa atau budayawan Jawa, grup musik hip-hop Jawa di Yogyakarta juga terkenal fasih menyuarakan hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari (semangatnya sama seperti gerakan Iran New Wace Cinema yang telah diperkenalkan oleh penulis di bagian pengantar tulisan ini) seperti kehidupan juru parkir (contohnya lagu rap ”Jogo Parkiran” oleh grup G-Tribe yang sangat terkenal di kalangan penikmat musik hip-hop Jawa di Yogyakarta dan Surabaya), kegiatan di pasar atau bahkan hal-hal yang terkadang tabu seperti seks atau aktivitas kriminal tertentu. Filososfi mereka jelas: hip-hop itu awalnya suara kaum teropresi, hip-hop itu awalnya suara rakyat jelata, maka hip-hop, walaupun mengglobal, harus dipertahankan sebagai medium untuk menyuarakan tuntutan akan keadilan, kesetaraan hingga klaim otentisitas dan penghargaan terhadap perbedaan.




Salah satu narasumber bagi tulisan ini menekankan bahwa sebagian besar seniman musik hip-hop Jawa di Yogyakarta, terutama yang bergabung di dalam Jogja Hip-Hop Foundation mengakui bahwa mereka memiliki minat awal yang besar terhadap hip-hop terlebih dahulu. Identitas ke-Jawa-an mereka kemudian menjadi terkait di dalamnya karena mereka merasa perlu untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki ikatan sosio-kultural yang kuat terhadap tanah kelahiran mereka. Bagi mereka, karakteristik globalisasi yang mencakup intensitas, kedalaman dan kecepatan pengaruh serta arus informasi yang dinamis sangat membantu mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut. Terlebih lagi, salah satu ide utama dari genre musik hip-hop adalah penghargaan terhadap otentisitas, sehingga menunjukkan kebudayaan Jawa sebenarnya sangat berakar dari semangat ini. Hasilnya, dapat dilihat hip-hop Jawa secara nyata menjadi bukti adanya hibridisasi atau sinkretisasi budaya di dalam proses globalisasi.




Hip-Hop sebagai Ikon dan ’Industri Budaya’ Theodor Adorno


Barangkali, sebagian dari kita bertanya-tanya, mengapa kemudian hip-hop menjadi sebuah konsep yang padoksikal seperti yang kita lihat sekarang. Ia bisa jadi medium perjuangan nirkekerasan, ia bisa jadi bernafaskan kekerasan dan bahkan seringkali diasosiasikan dengan tindakan kriminal oleh kaum kulit putih di Amerika Serikat, ia adalah medium penyampaian ’wong cilik’ di Yogyakarta, tetapi juga di sisi yang lain, hip-hop adalah tentang ekspresi anak muda kelas atas di Jakarta yang ingin tampil tidak ketinggalan zaman dengan gaya pakaian yang serba mahal. Ini semua dapat dijawab dengan pernyataan: ”Hip-hop adalah sebuah ikon”. Dan globalisasi jelas membantu dalam proses ikonisasi hip-hop itu sendiri.


Mary F. Rogers di dalam karyanya “Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme” menegaskan:
(Rogers, Mary F. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme. (2003). Penerbit Bentang Budaya: Yogyakarta. (Diterjemahkan dari Rogers, Mary F. Barbie Culture. (1999). Sage Publications: London) bahwa Barbie, atau musik hip-hop dalam konteks tulisan ini, adalah sebuah ikon budaya yang tidak dapat direduksi menjadi makna-makna tertentu yang secara tegas saling terpisah. Kodrat keduanya sebagai ikon budaya adalah selalu penuh dengan berbagai makna yang dapat menarik berbagai karakter individu dan menghasilkan pemahaman serta manifestasi yang bisa sangat jauh berbeda satu sama lain. Tidak ada satu ikon pun yang hanya mewakili satu dimensi atau satu aksis kebudayaan. Tetapi, secara substansial, ikon adalah gambaran apa yang diciptakan setiap orang atau komunitas tertentu di dalam dunianya sendiri.




Penulis ingin menggarisbawahi, alam komunitas hip-hop Jawa sangatlah berbeda dengan komunitas hip-hop di Jakarta, terutama mereka yang seringkali hanyalah poser belaka, bukan seniman musik hip-hop yang loyal pada karya idealis atau membawa suara orang kecil di sekitarnya. Mereka sangat terilusi oleh standardisasi budaya hip-hop, yang sebagian besar bukan ditetapkan oleh seniman musik hip-hop perintis di Amerika Serikat di akhir tahun 1970-an, tetapi oleh pebisnis dan pengusaha yang kegiatan bisnisnya berputar di sekitar budaya hip-hop (seperti pakaian, sepatu atau bahkan jam tangan mewah dan mobil sport mahal).
Tak dapat disangkal, hip-hop memiliki celah industri yang sangat besar karena ia adalah salah satu kultur yang paling digemari oleh banyak orang di seluruh dunia. Budaya hip-hop mengalami komodifikasi, standardisasi dan masifikasi yang bisa jadi hanya menguntungkan beberapa pihak yang mungkin tidak begitu memahami filososfi musik hip-hop yang awalnya adalah gerakan kaum teropresi. Bayangkan citra seperti ini: di salah satu sudut di kota Yogyakarta, sebuah grup hip-hop mementaskan lirik-lirik yang mengeritik kelambatan pemerintah merespon kasus Lapindo tetapi di salah satu tempat berkumpul anak muda kelas atas di Jakarta, lirik musik hip-hop adalah tentang memiliki mobil sport mahal yang bisa menarik perhatian banyak perempuan.
Barangkali tak ada pemikiran yang lebih baik untuk menjelaskan fenomena seperti ini selain dengan menggunakan pemikiran Theodor Adorno dan Max Horkheimer yang terkenal tentang ‘industri budaya’ dari karya mereka, “Dialectic of Enlightenment” (1944). Simak tulisan di bawah ini:




Sebagaimana dikemukakan Adorno, industri budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas… dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan. Dengan kata lain, industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif komersial, sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta masifikasi. Komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk budaya sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan. Standardisasi berarti menetapkan kriteria tertentu yang memudahkan produk-produk industri budaya itu mudah dicerna oleh khalayaknya. Adapun masifikasi berarti memproduksi berbagai hasil budaya dalam jumlah massal agar dapat meraih pangsa pasar seluas-luasnya.


(Lukmantoro, T. ”Industri Budaya”. Harian Suara Merdeka, 4 November 2003. hal. 4.)


Bagi Adorno, industri budaya berakibat adanya anti-pencerahan. Anti-pencerahan ia definisikan sebagai munculnya dominasi industri kapitalis yang kemudian menjadi alat ilusi massal serta membelenggu kesadaran sejati manusia; menghindarkan mereka dari kemandirian untuk menilai dan memutuskan sendiri sesuatu hal secara bebas. Ada standardisasi yang membuat munculnya mass culture dalam berbagai bentuk dan fenomena.
( Pendekatan lain yang juga dapat digunakan untuk melihat fenomena ini adalah melalui penjelasan tentang ’bentuk kontrol yang baru’ oleh Herbert Marcuse di dalam karyanya ”One Dimensional Man” (1964)).



Film atau musik kemudian secara terang-terangan tidak lagi menunjukkan karakteristiknya sebagai sebuah seni. Industri hip-hop yang masif pun dapat dikatakan demikian. Berbagai produk fisik dan jasa disematkan ke dalam budaya hip-hop yang sudah paradoks itu, sehingga menghasilkan loyalitas kepada materi, bukan pada filososi idealis hip-hop itu sendiri.
Industri budaya mempreservasikan fetisisme komoditas melalui pembentukan selera dan kecenderungan publik sekaligus mendefinisikan (secara terbatas) apa yang menjadi keinginan dari publik, sehingga sama saja dengan mengendalikan mereka untuk mengonsumsi apa yang mereka produksi. Pertukaran yang terjadi dalam industri semacam ini kemudian menjadi ’pseudo-exchange’, karena publik tidak kemudian membayar ’nilai-nilai’ yang memang seharusnya mereka bayar. Ini berarti, industri budaya mengesampingkan kebutuhan dan keinginan yang riil dari manusia serta mematikan potensi oposisi atau strategi alternatif dari diri mereka, bahkan tanpa mereka sadari (seperti konsep budaya bisu di dalam Pedagogy of the Opressed karya Paulo Freire).




Adorno memberi contoh tentang seseorang yang lebih bangga akan harga tiket yang ia bayarkan untuk menyaksikan konser Toscanini daripada nilai estetis dari musik sang komposer itu sendiri. Industri hip-hop pun sering dikritik demikian. Ketika seorang penikmat datang ke pertunjukan musik hip-hop, ia merasa bangga dengan citra yang akan terkait padanya, yaitu citra mewah dunia industri hip-hop. Sangat berbeda ketika seorang mahasiswa datang ke event seperti Poetry Battle yang diadakan Jogja Hip-Hop Foundation setiap tahun, dimana agenda utamanya adalah membicarakan isu ’rakyat’ dengan medium musik hip-hop yang ’membumi’. Sang mahasiswa bisa jadi merasa terikat dengan event itu karena nilai filosofis-idealis yang ditawarkan oleh seniman musik hip-hop tentang keberpihakan kepada orang kecil.


Penutup


”... and we always need to hear both sides of the stories...”


Both Sides of the Stories, Phil Collins, 1993
(Dikutip dari lirik lagu berjudul “Both Sides of the Stories” ciptaan Phil Collins dari albumnya “Both Sides” yang dirilis pada tahun 1993 oleh WEA Records.




Lirik lagu di atas mencerminkan keinginan penulis untuk menyimpulkan bahwa hip-hop Jawa di Yogyakarta sejatinya adalah sebuah bukti akan dua hal: adanya niat untuk hidup koeksisten dengan nilai-nilai luar tetapi di sisi lain juga berusaha resisten terhadap komodifikasi, standardisasi serta masifikasi terhadap nilai-nilai yang tidak riil dari genre musik hip-hop itu sendiri. Hip-hop Jawa tetap mempertahankan respek terhadap seniman musik hip-hop yang lahir di Amerika Serikat sebagai pionir genre tersebut. Mereka pun loyal dengan filosofi serta semangat utama musik hip-hop yaitu otentisitas, keunikan, harga diri, kemandirian, protes terhadap opresi dan ketidakadilan serta konsep ‘membumi’, bukan sebaliknya. Mereka pun di sisi yang lain, memiliki respek terhadap ikatan mereka terhadap identitas ke-Jawa-an dan merasa bahwa penggunaan identitas tersebut justru merupakan bukti nyata bahwa mereka menghargai otentisitas yang mereka miliki. Keinginan mereka untuk menyuarakan pikiran atau protes disalurkan melalui genre hip-hop yang telah direkontekstualisasi dengan menggunakan sumber, pengetahuan, ‘aksesori’ budaya serta isu lokal.




Pertanyaan pertama dari tulisan ini dengan demikian telah terjawab yaitu bahwa hip-hop Jawa di Yogyakarta adalah memang sebuah hasil hibridisasi atau sinkretisme budaya yang prosesnya berjalan notabene cepat serta intesif karena adanya globalisasi yang memungkinkan pertukaran informasi, nilai serta media ekspresi komunitas tertentu untuk menunjukkan ikatan dengan aspek sosio-kulturalnya. Seniman hip-hop Jawa di Yogyakarta adalah dapat dikatakan sebagai agen hibridisasi budaya yang aktif di dalam proses globalisasi.


Referensi:


Adorno, Theodor Wiesengrund; Horkheimer, Max. Dialectic of Enlightenment. (1944). [Chapter I: The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception, transcribed by Andy Blunden in 1998] in Marxist Work Archive – Digital Library.


Boyd, Todd. The New H. N. I. C (Head Niggas in Charge): The Death of Civil Rights and the Reign of Hip-Hop. (2003). New York University Press: New York and London.

Drissel, David. Hip-Hop Hybridism: Diasporic Youth Constructing Black-Inflected Identities. Paper presented at the annual meeting of the American Sociological Association, New York, New York City. August 10, 2007.

Friedman, Jonathan. Cultural Identity and Global Process. (1994). Sage: Thousand Oaks, California.

Holton, Robert. ‘Globalization’s Cultural Consequences’. Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 570, ‘Dimensions of Globalization’, (Jul., 2000), pp. 140-152. Sage Publications, Inc. in association with the American Academy of Political and Social Science.

Lorenzen, Janet. Global Consumption: McDonaldization or Multicultural Hybridization? (2007). Rutgers University.

Rogers, Mary F. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme. (2003). Penerbit Bentang Budaya: Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment