Friday, November 27, 2009

DeLeon and Kautsky on Reform and Revolution


The Beatles, "Revolution"


DeLeon mendefinisikan reformasi dan revolusi dengan menggunakan perumpamaan yang sangat mudah dipahami lewat khayalan fisikal seekor anjing pudel. Baginya, reformasi adalah suatu perubahan eksternal, perubahan-perubahan yang diusahakan tidak serta-merta mengubah bentuk dasar dari sesuatu; sehingga secara fundamental sesuatu itu adalah sama. Tetapi, perubahan eksternal membuat sesuatu itu mengalami transformasi, walaupun tidak komprehensif. Bayangkan seekor anjing pudel yang dipelihara oleh orang-orang berbeda yang memiliki kecenderungan masing-masing dalam memperlakukan hewan peliharaannya, tetapi tidak lantas mengubah anjing pudel itu menjadi makhluk hidup lain atau memberi fungsi biologis baru dari organ-organ dalam tubuhnya.
Sementara revolusi adalah sesuatu yang lebih luas; perubahan besar-besaran secara fundamental yang menyentuh mekanisme internal suatu komunitas, berlawanan dengan reformasi. Bayangkanlah perubahan fundamental makhluk hidup invertebrata di zaman prasejarah awal hingga mengalami proses perubahan menjadi hewan vertebrata yang kemudian ikut pula mengubah fungsi-fungsi organ tubuh untuk bertahan hidup. Tentu saja, tidak ada perubahan internal tanpa manifestasi eksternal. Perubahan hewan invertebrata menjadi vertebrata tentu tetap menghasilkan ’external marks’. Menurutnya, kaum sosialis adalah kaum revolusionis, bukan reformis. Kaum sosialis tidak terlalu mengindahkan ’bentuk’ tetapi perubahan internal di dalam mekanisme komunitas; bentuk akan dapat menyesuaikan dirinya.


DeLeon menggunakan tiga ’nerve center’ dalam memberikan pemahaman tentang perbedaan revolusi dan reformasi sekaligus penalarannya tentang bagaimana seharusnya revolusi itu diargumentasikan. Ketiganya adalah ’government and/or state’, ’materialism morality’ serta ’class struggle’. Melalui pertanyaan tentang fungsi negara atau pemerintahan serta batasan-batasannya, ia berargumen seiring dengan penemuan sumber daya dan cara-cara pemanfaatannya, maka secara natural manusia mulai membuat ’kesenjangan-kesenjangan’ ala mereka seperti perbedaan jender, kemampuan, majikan dan buruh, the able and the unable, dll. Ini tentu menghambat cita-cita kaum sosialis untuk menghapuskan perbedaan kelas, maka menurutnya, di sinilah seharusnya revolusi dijalankan, mengubah mekanisme negara dan/atau pemerintah, tidak sebagai pendominasi tetapi sebagai pengatur proses produksi. DeLeon mengilustrasikannya dengan membahas keadaan suku Indian yang hidup dalam kondisi komunitas yang memerlukan sebuah ’central directing authority’ agar tercipta keharmonisan dalam kehidupan komunitas mereka.
Moralitas materialisme, menurut DeLeon tidak menjadi sebab dari revolusi tetapi merupakan bantuan yang sangat powerful bagi revolusi itu sendiri. Ia menggunakan metafora kenyataan bahwa awalnya leluhur kita adalah kaum kanibal yang digambarkan ’memakan orang-orang atau budak yang kalah perang dari mereka’. Tetapi, seiring dengan perkembangan sistem sosial yang memungkinkan mereka untuk menciptakan mekanisme kontrol bagi budak-budak mereka, mereka melihat bahwa ini memberikan keuntungan bagi eksistensi mereka. Dalam perkembangannya, kanibalisme kemudian memiliki makna peyoratif dalam pandangan sosial penerus leluhur kita. Begitu pula dengan kenyataan nasib kaum pekerja. Seiring dengan perubahan mekanisme sosial yang melihat kebaikan kaum ini, maka diharapkan mereka akan memenangkan antagonisme kelas. Pandangan bahwa kaum pekerja memiliki nasib buruk adalah energi luar biasa bagi revolusi, bukan sekadar reformasi. ‘Nerve center’ yang terakhir adalah ‘class struggle’. Reformasi tidak memungkinkan perubahan keseluruhan dalam pola masyarakat yang kaum pekerjanya dieksploitasi oleh kaum pemilik modal, tetapi revolusi akan memberikannya, dalam waktu yang notabene singkat.


Kautsky, berlawanan dengan penalaran DeLeon menawarkan konsep reformasi dan revolusi yang berbeda. Revolusi, bagi Kautsky tidak selalu berarti sebagai usaha mengubah sebuah political atau social superstructure di dalam suatu masyarakat secara keseluruhan tetapi ada pengertian yang lebih ’dangkal’ bagi terma ini. Revolusi dipahaminya sebagai usaha menjalankan metode-metode tertentu dalam bertransformasi. Bagi Kautsky, revolusi diawali oleh serangkaian reformasi. Revolusi dijelaskan dalam bentuk ’lompatan-lompatan’. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan political dan social superstructure, untuk mengubah kondisi ekonomi adalah reformasi jika dibawa oleh kelas yang merupakan kelas dominan. Sementara, ukuran-ukuran tersebut adalah revolusi jika dihasilkan oleh kelas yang tereksploitasi. Reformasi sosial, tidak hanya sebagai bentuk penyesuaian diri, tetapi juga mempertahankan kepentingan ruling class. Revolusi sosial sebaliknya menentang semua ini, karena dari awal sudah mengalami interests incompatibility dengan ruling class. Kautsky menerima analogi kelahiran dan revolusi sebagai hal yang mirip, tetapi baginya tidak mutlak. Kelahiran adalah suatu kejadian yang sebelumnya harus melewati berbagai proses transformasi dan perkembangan setahap demi setahap, kemudian lompatan besarnya adalah manusia yang memiliki fungsi-fungsi tubuh yang sempurna.
DeLeon dan Kautsky sendiri sepertinya memiliki niat yang sama dalam menjelaskan perbedaan konsep reformasi dan revolusi. Seiring dengan kenyataan bahwa kaum kelas pekerja yang ’berorganisasi’ sepertinya tidak beranjak dari posisi awal mereka, DeLeon dan Kautsky merasakan bahwa ini salah satunya disebabkan ketidakpahaman tentang konsep revolusi dan reformasi yang seharusnya memainkan peranan kunci dalam mewujudkan negara yang dikuasai oleh rezim proletariat. Cara mereka mengargumentasikan konsep revolusi dan reformasi sangat tergambar dalam cara mereka mendefinisikannya seperti pada uraian di atas.


Freire on Pedagogy of the Opressed

Bagi Freire, tujuan utama dari pedagogi kaum tertindas adalah sangat umum; membebaskan kaum tertindas dari kenyataan sejarah yang subyektif dan ’memasukkan’ mereka ke ’tempat’ yang lebih objektif, dimana mereka mampu membebaskan pikiran dan tindakan mereka. Pedagogi kaum tertindas adalah pedagogi yang hanya dapat dijalankan oleh kaum tertindas, tetapi pada prinsipnya akan membebaskan setiap kaum, termasuk kaum penindas itu sendiri karena kaum penindas tidak akan pernah dapat membebaskan diri mereka sendiri.
Kaum tertindas seringkali mengalami tekanan atas cara berpikir dan bertindak mandiri, atas hak dan keharusan untuk menjadi manusia seutuhnya, atas hak untuk menjadi bagian dari kenyataan obyektif dan hak untuk membuat perubahan melalui revolusi. Ini semata-mata karena kaum tertindas harus dipertahankan sebagai kaum yang tidak pernah mencapai kesadaran serta harus terus terperangkap dalam false generosity yang dilancarkan oleh kaum penindas.
Keadaan di atas semakin diperparah ketika kaum tertindas tidak memiliki sumber political power yang memadai untuk melawan kaum penindas. Tetapi, Freire merumuskan sumber lain yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh kaum tertindas, yaitu dengan menciptakan kecenderungan pembebasan pikiran melalui proses edukasi yang kemudian akan merumuskan pedagogi kaum tertindas.

Pedagogi kaum tertindas, dalam konteks perlawanan, kemudian menjadi penting untuk berbagai alasan, yaitu:
1) pedagogi semacam ini akan membantu kaum tertindas menciptakan kesadaran bahwa perlawanan yang mereka lakukan bukan semata-mata untuk changing poles tetapi lebih untuk merestorasi sisi kemanusiaan, baik pada kaum tertindas maupun kaum penindas,
2) pedagogi kaum tertindas adalah jalan untuk menuju kesempurnaan fase praksis dalam perlawanan kaum tertindas,
3) pedagogi kaum tertindas bertindak sebagai reflektor bagi kaum tertindas; ”explaining to the masses their own action”,
4) untuk mencapai tujuan pembebasan, kaum tertindas harus menghadapi realitas secara kritis dan hanya pedagogi kaum tertindaslah yang memungkinkan hal ini, mencegah dari munculnya false substitute,
5) kaum tertindas menggunakan pedagogi kaum tertindas untuk menghapuskan semua kultur dominasi dan penindasan sekaligus menggunakannya sebagai landasan transformasi,
6) pada akhirnya, pedagogi kaum tertindas akan menjadi pedagogi milik semua kaum dalam proses pembebasan yang permanen.



“Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”… Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu, menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik.”(1)

(1) M. Manggeng, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia, INTIM - Jurnal Teologi Kontekstual, Edisi No. 8, Semester Genap 2005, hal. 41-42, . Diunduh pada 24 November 2008.

Che on Guerilla Warfare


Guerilla warfare atau perang gerilya bagi Che adalah suatu metode yang tidak asing dalam kenyataan dunia, ia digunakan dalam banyak perlawanan dan peristiwa, dari Sandino hingga Mao. Asia, Afrika dan Amerika Latin telah menjadi panggung-panggung utama dari pelaksanaan perang gerilya. Bagi Che, mereka yang mengecam taktik perang gerilya sebagai taktik perang yang melupakan perjuangan rakyat itu sendiri adalah hal yang jelas salah karena mereka berdua pada dasarnya tidaklah bertentangan satu sama lain.


Implementasi perang gerilya oleh Che didasarkan pada tiga hal yang dikontribusikan oleh Revolusi Kuba, yaitu pertama, rakyat ’dapat’ benar-benar memenangkan perang melawan kaum tentara. Kedua, rakyat tidak harus menunggu hingga keadaan betul-betul mendukung untuk melakukan revolusi; kudeta dan pemberontakan akan menghasilkan keadaan itu. Ketiga, di daerah yang belum berkembang seperti di Amerika Latin, wilayah pertempuran perang gerilya haruslah mengambil tempat di pinggiran wilayah kota. Daerah pinggiran kota yang tidak berkembang inilah yang justru menyimpan potensi pasukan dan gerakan revolusioner yang besar.

Argumen-argumen yang paling fundamental yang mengukuhkan taktik perang gerilya sebagai alat utama gerakan revolusioner adalah sebagai berikut:


1. Menerima fakta bahwa musuh akan terus berjuang dan bertempur untuk mempertahankan eksistensinya adalah sekaligus menerima bahwa kaum tertindas harus merancang sebuah ’people’s army’ untuk menghancurkan dan mengalahkan musuh tersebut.


2. Fakta kolektif tentang keadaan di sebagian besar wilayah Amerika Latin yang ditekan oleh sistem feodal pemilik latifundia atau hacienda yang kemudian juga memunculkan semangat pemberontakan dari kaum tertindas.


3. Adanya iklim pemberontakan yang bersifat kontinental di wilayah Amerika Latin.


4. Berdasar pada argumen José Marti, Che menegaskan bahwa ketika rakyat dapat menghindari perang dan masih mengobarkannya adalah sama kriminalnya dengan ketika sebuah perang yang tak terhindarkan sengaja dipadamkan.

Saturday, November 14, 2009

Hip-Hop Jawa di Yogyakarta: The Living Proof of Iconization and Globalization



Tulisan ini merupakan penyampaian individual dari proyek kelas kelompok untuk Mata Kuliah Globalisasi yang diampu oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed dan Muhadi Sugiono. Metode utama pelaksanaan proyek kelas adalah studi literatur serta studi lapangan. Narasumber utama untuk studi lapangan adalah Dimas Pas dari Jogja Hip-Hop Foundation dan Yayasan Berkata-Kata Cepat Yogyakarta serta Jefry dan Yayan dari grup hip-hop Jawa asal Yogyakarta, “Sakit”.
___________________________________



Tampaknya, orang Indonesia (atau sebagian) memiliki strategi yang mumpuni dalam mewujudkan ’hidup’ yang koeksisten sekaligus resisten dengan hal-hal yang datang dari luar. Ini bisa kita lihat dari banyak hal. Sebut saja ”Bajaj Bajuri” atau ”Hip-Hop Jawa”. Ketika televisi didominasi oleh opera sabun yang formulanya mencontoh serial Amerika Serikat seperti ”The Bold and The Beautiful” atau yang lebih lawas seperti “Dinasty” (dengan set maha megah dan gaya hidup yang seakan tidak terjangkau) serial televisi ”Bajaj Bajuri” menelusup masuk sebagai ’kuda hitam’ di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia dan menawarkan ide lain: melihat wajah bangsa sendiri. Pemain dan dialognya diset sangat sederhana, ide cerita pun berkutat pada kepelikan sehari-hari yang dialami kaum kelas menengah ke bawah yang hidup di dalam hiruk-pikuk hutan beton ibukota Jakarta.




Padahal, yang mungkin tidak disadari pemirsa, ide cerita dan setting serial ”Bajaj Bajuri” sangatlah diinspirasi oleh gerakan ”Iran New Wave Cinema” yang dipelopori oleh sutradara seperti Majid Majidi, Abbas Kiarostami, dll dimana plot ceritanya berjalan ringan, sederhana, dan mengangkat hal-hal kecil yang sering dianggap sebelah mata di dalam formula film Hollywood. Tetapi, di sisi lain, gaya penyutradaraan, teknik pengambilan gambar, proses editing, dll, sangat dibantu oleh teknologi perfilman yang munculnya tak lain dan tak bukan adalah dari budaya Hollywood itu sendiri. Apakah ini dapat disebut sebagai hasil sinkretisasi ”budaya layar”? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Relatif, begitu kata kebanyakan orang. Tetapi, bergantung pada relativitas tentu akan membuat kita tidak mandiri dalam mencari informasi yang dibutuhkan untuk memutuskan sesuatu itu ’ya atau bukan’, ’salah atau benar’, ’pantas atau tidak pantas’.




Hip-hop Jawa pun dapat dikatakan demikian; ia ’menjaring’ nilai dan simbol yang dianut oleh ”hip-hopper” sejati serta memasukkan ide-ide yang berbasis pada budaya leluhur. Padanan dua kata tersebut mungkin terasa asing atau aneh di telinga beberapa orang, tetapi harus diakui, ini adalah sebuah fenomena kultur anak muda yang muncul, terutama di Yogyakarta dan Surabaya, pada permulaan tahun 2000-an. Konsep ini menggabungkan ’nilai-nilai konservatif’ hip-hop dengan nilai-nilai dan simbol budaya Jawa. Dengan mengusung tema ’mendokumentasikan globalisasi di lingkungan sekitar’, penulis berusaha untuk memaparkan analisa mengenai fenomena hip-hop Jawa dan tesis tentang ia sebagai hasil hibridisasi atau sinkretisasi budaya. Dalam pemaparannya, tulisan ini akan membahas beberapa hal yang akan membantu memahami mengapa hip-hop Jawa dapat disebut sebagai hasil hibridisasi budaya. Hal-hal tersebut meliputi penjelasan tentang konsekuensi kultural dari proses globalisasi, genre musik hip-hop, hip-hop Jawa itu sendiri. Pertanyaan utama dari tulisan ini adalah: ”Apakah hip-hop Jawa merupakan hasil hibridisasi budaya?” serta ”Apakah fenomena hip-hop Jawa di Yogyakarta merupakan suatu reaksi perlawanan atas intrusi budaya asing?”




Dampak Kultural Proses Globalisasi


Konsekuensi kultural dari proses globalisasi dalam berbagai karya literatur akan sebagian besar menjurus kepada perdebatan tiga ide. Yang pertama adalah tesis homogenisasi dimana proses globalisasi itu kemudian cenderung menghasilkan konvergensi budaya. Yang kedua, tesis polarisasi dimana globalisasi kemudian menghasilkan sebuah ’cultural wars’ antara Barat dan lawan-lawannya serta kemudian tesis hibridisasi atau sinkretisme yaitu tesis yang berargumen bahwa globalisasi mendorong adanya percampuran berbagai sistem ataupun hasil dari sistem berbagai kebudayaan yang terjadikarena adanya ’cross-border exchange’.
Tesis homogenisasi yang erat dengan konsep-konsep seperti “Coca-Colanization” atau “McDonaldization” mencerminkan adanya kepercayaan bahwa aktivitas ekonomi global akan diikuti oleh terciptanya kultur global. Dari titik ini, hegemoni pun menjadi setara dengan konsep “Westernisasi” atau “Amerikanisasi”. Penyebaran ekonomi pasar dan strategi-strategi global dari berbagai MNC memungkinkan adanya proses homogenisasi. Konsumen kapitalisme jenis ini adalah tipe konsumen yang terbentuk dari intensifikasi ’standardized brand image’, pemasaran masal serta status tinggi yang disematkan oleh penduduk Negara Dunia Ketiga kepada berbagai produk Barat. Kritik terhadap tesis homogenisasi adalah bahwa asosiasi kultural globalisasi dengan Amerikanisasi atau Westernisasi adalah sesuatu yang berlebihan.




Tesis polarisasi seringkali berbasis pada studi orientalisme atau studi Barat yang menegaskan bahwa terdapat cultural wars antara kedua polar ini, dimana orang Barat adalah ‘the Self’ dan orang Timur adalah ‘the Other’ atau posisi sebaliknya. Pada akhirnya, hibiridisasi menjadi penengah dari kedua tesis ini yang juga kemudian akan menjadi landasan dari argumen utama di dalam tulisan ini yaitu bahwa hip-hop Jawa, sesuai dengan karakteristiknya yang memenuhi standar adalah dapat disebut sebagai hasil hibridisasi budaya. Tesis hibridisasi berpusat pada argumen adanya ‘intercultural exchange’ serta perpaduan berbagai elemen kebudayaan dari berbagai macam sumber di dalam suatu praktek kebudayaan – atau dengan kata lain, ada sebuah dialog ’global dan lokal’ yang membuat sebuah komunitas merasa bahwa beberapa nilai dari komunitas lain di tempat yang berbeda adalah bagian dari diri mereka sendiri.


…the hybridization theory argues that culture is becoming more differentiated within nation states, establishing a parallel trajectory with the increase in consumer choices. Arguably, the intensification of flows (capital, knowledge, people) has accelerated the relationship between local and global culture creating a hybridization that may appear increasingly Western, but really remains a dialogue or negotiation between the local and the global.


(Lorenzen, Janet. Global Consumption: McDonaldization or Multicultural Hybridization? (2007). Rutgers University. p. 9.)


Di dalam payung besar tesis hibridisasi, sebuah sub-tesis bernaung di dalamnya yang disebut oleh David Drissel (2003) sebagai tesis ‘rekontekstualisasi’. Ia berarti “peminjaman” obyek-obyek kultural dari satu konteks tertentu dengan tujuan untuk digunakan di dalam konteks sosial yang lain. Tesis rekontekstualisasi-pun sangat tepat dalam menggambarkan globalisasi dan lokalisasi hip-hop sekaligus juga menjelaskan sebab rasional terjadinya hibridisasi budaya yang salah satu bentuknya adalah hip-hop Jawa. Para penerima komoditas globalisasi, dalam hal ini adalah seniman musik hip-hop di Yogyakarta, tidak serta-merta dapat diklaim sebagai agen pasif yang kemudian tidak terlibat di dalam proses aktif untuk beradaptasi dan memodifikasi nilai-nilai kultural dari luar yang didasarkan pada keadaan lokal serta dibangun di atas pengetahuan dan sumber-sumber lokal. 


Globally available cultural products can provide the impulse for a locally enacted symbolic creativity…


( Drissel, David. Hip-Hop Hybridism: Diasporic Youth Constructing Black-Inflected Identities. Paper presented at the annual meeting of the American Sociological Association, New York, New York City. August 10, 2007. p. 8).




Hip-Hop: Genre Musik dan ”Gerakan Kebudayaan”yang Mengglobal






Seperti yang tertera pada tajuk di atas, hip-hop adalah suatu genre musik sekaligus sebagai suatu gerakan kebudayaan yang lahir pada pertengahan tahun 1970-an, terutama di daerah Bronx selatan, New York. Ia lahir dari tangan sekelompok anak muda kulit hitam (dan beberapa dari kaum Hispanik) yang berbagai pengalaman yang sama tentang kondisi kelas di Amerika Serikat yang pada waktu itu kental oleh sentimen rasial. Mereka teralienasi dari kehidupan mapan kaum kulit putih menengah yang jauh lebih terdidik serta kemanan sosialnya jauh lebih terjamin. Dengan kata lain: hip-hop lahir dari kondisi ketidakadilan dan kemiskinan. Ia dapat dikatakan sebagai strategi resistensi sekaligus bentuk ekspresi kaum tersebut tentang keadaan mereka, serta sangat sering disusupi ide-ide tentang bagaimana orang kulit hitam atau Hispanik sangat berbeda dari orang kulit putih dalam banyak hal.




Budaya hip-hop terdiri dari berbagai macam unsur. Mulai dari rapping atau MC-ing (bentuk utama dari hip-hop sebagai genre musik), turntabling atau DJ-ing, bahasa slang, grafiti, tarian (breakdance, krump, dll), hingga mode pakaian, rambut serta aksesori. Sebagai suatu genre dan gerakan yang lahir dari suatu kawasan di daerah Bronx selatan yang sangat identik dengan ghetto atau lingkungan tempat tinggal kaum kelas bawah yang biasanya kumuh dan ditinggali oleh kaum minoritas tertentu, hip-hop adalah tentang pengagungan otentisitas, terutama yang mendefinisikan tentang siapa itu kaum kulit hitam (atau Hispanik) serta siapa itu kaum kulit putih.


At some overt level, hip-hop has always been about the cultural identity of those who perform the music, and those who constitute its core audience. This concern over identity is generally bounded by two other primary issues: a politics of location and an overall search for that which is considered authentic.


(Boyd, Todd. The New H. N. I. C (Head Niggas in Charge): The Death of Civil Rights and the Reign of Hip-Hop. (2003). New York University Press: New York and London. p. 18.)


Hip-hop itu sendiri sebenarnya berakar dari aktivitas African Diaspora selama ribuan tahun. Sebutlah demikian: ia adalah hasil budaya yang tercipta dari perpindahan orang Afrika yang diperbudak oleh bangsa kulit putih. Ini dibuktikan dengan perpaduan unsur dalam hip-hop yang sangat kental dengan nuansa tarian, ekspresi dan aspek linguistik dari budaya Afrika. Mengapa kemudian diaspora orang Afrika bisa membuat mereka mempengaruhi budaya hip-hop yang muncul di luar benua mereka? Bukankah mereka ditempatkan di daerah-daerah yang berbeda dan tidak diberi hak untuk mempertahankan identitas kultural mereka? 


Brent Hayes Edward dalam tulisannya, The Uses of Diaspora
( Lihat Edward, Brent Hayes. “The Uses of Diaspora”. (2001). Journal of Social Text, Vol. 19, No. 1), menyatakan bahwa definisi diaspora juga menyangkut ”pertanyaan tentang asal-usul” sehingga kemudian sangat berkaitan dengan pembentukan identitas kolektif. Dengan demikian, sejarah hip-hop itu sendiri sangatlah dekat dengan sejarah opresi terhadap kaum kulit hitam serta ekspresi kultural mereka selama berabad-abad yang terkait dengan opresi tersebut.


Awalnya, hip-hop sendiri banyak berfokus pada kehidupan penjual obat-obatan terlarang di wilayah ghetto serta mimpi menjadi pemain bola basket terkenal. Kedua hal ini adalah impian utama anak muda kulit hitam dan Hispanik pada era tahun 1970-an, dimana hanya kedua ‘profesi’ inilah yang menurut sebagian besar dari mereka akan memberikan efek respek dari orang-orang di sekitar mereka serta, tentu saja, kemakmuran, sehingga dapat lepas dari kemiskinan hidup.






 Gaya musiknya yang dinamis dan mencerminkan pembebasan dari berbagai macam kerangkeng moral serta institusi di Amerika Serikat pada waktu itu membuat hip-hop menjadi genre musik yang cepat populer, bahkan mengglobal dan kemudian diterima dengan penyesuaian terhadap nilai-nilai kultural tertentu di daerah tersebut.




Pada dekade 1980-an dan awal 1990-an, hip-hop menjadi sangat besar di Amerika Serikat dengan berbagai perkembangan signifikan. Ia menjadi lebih keras dan lebih kritis menanggapi keadaan sosial-politik di sekitar mereka, dari dampak perbudakan hingga pengecaman terhadap berbagai kelompok kulit putih rasis seperti Klu Klux Klan atau Neo-Nazi. Budaya kekerasan kemudian menjadi sesuatu yang juga salient di dalam musik hip-hop, terutama yang berhubungan dengan ’kemarahan’ anak muda kulit hitam yang membuat kemudian membuat sebagain dari kita melihat hip-hop dengan citra gangster, pertikaian dengan senjata api hingga misoginitas. Seniman hip-hop yang berpengaruh di Amerika Serikat seperti Wu Tang Clan, N. W. A. (Niggas with Attitude), Public Enemy, Run DMC atau individual seperti Tupac Shakur adalah pengusung utama ide-ide ini.




Tetapi, menghubungkan hip-hop dengan kekerasan pun bukanlah suatu hal yang dapat dianggap benar, karena ia pun digunakan dengan cara yang positif oleh banyak anak muda kulit hitam dan Hispanik. Hip-hop sendiri awalnya memang juga diasosiasikan dengan saluran nir-kekerasan untuk mengekspresikan pikiran serta pendapat dalam cara yang menyenangkan, menghibur sekaligus juga menegaskan identitas yang berbeda dari ras atau kelas yang lain.






Hip-Hop Jawa di Yogyakarta


Di Jogja Hip-Hop Foundation, hampir setiap crew memiliki komposisi rap dalam bahasa Jawa. Selebihnya campuran antara Inggris-Indonesia-Jawa. Kami tidak tahu, apakah ini sebuah anugrah atau justru representasi atas ke-udik-an, ketika melihat seorang anak muda berumur 20 tahunan memilih bahasa Jawa sebagai bahasa ungkapan dalam sebuah medium ekspresi yang trendy? Yang pasti ini bukan semangat revitalisasi bahasa tradisional, kita bukan generasi yang memikul beban itu, juga tidak sedang memperjuangkan apa pun atau sedang melawan apa pun. Ini bukan tentang underground atau major, bukan tentang kapitalis atau umpatan khas rap yang ‘f***’ the system’ itu, lebih pada bahwa hip-hop adalah kejujuran: apa bahasa ungkap yang paling akrab di mulut kamu. Seberapa keren kamu berusaha belajar bahasa Inggris, kemudian kamu belajar nge-rap sebagai epigom atas Eminem, tetap saja dari dialeg dan aksen kamu akan kelihatan dari mana kamu berasal. Dalam estetika rap, aksen unik adalah nilai lebih, kamu tidak perlu menutup-nutupi hal itu dengan berusaha menjadi orang lain.


Kutipan dari Pengantar CD Album Poetry Battle II, 2008
Jogja Hip-Hop Foundation dan Yayasan Berkata-Kata Cepat Yogyakarta


Hip-hop telah menjadi suatu kultur anak muda global yang menelusup hingga ke ruang-ruang terkecil di dalam dinamika kehidupan mereka, termasuk di Indonesia. Awalnya, keberadaan hip-hop di Indonesia jelas bermula dari Jakarta yang selalu menjadi kiblat gaya hidup serta tren di Indonesia. Di Jakarta ini, hip-hop awalnya masih mengikuti ’mimik’ maupun pendekatan hip-hop Amerika Serikat, terutama gaya berpakaian, bahasa, bebunyian atau alat musik pengiring yang digunakan, dll.





Tetapi, esensi lokal pun tetap membuat hip-hop ternyata tidak berdaya dalam melawan intrusi identitas tertentu. Iwa K bisa jadi adalah pionir utama hip-hop lokal di Indonesia, terutama dengan single ketiganya dari album “Ku Ingin Kembali” yang dirilis pada tahun 1993 berjudul “Batman Kasarung” yang keseluruhan liriknya menggunakan bahasa Sunda; 


Iwa membawa rap ke dalam bahasa Sunda atau sebaliknya, dan dengan cerdik bermain-main dengan sebuah ikon dunia Barat dalam bingkai yang begitu tradisional”.


(Gitomartoyo, Wening. “150 Album Indonesia Terbaik: #117 Iwa K ‘Ku Ingin Kembali’”. Majalah Rolling Stone Indonesia – Special Collector’s Edition, Desember 2007, Edisi 32. hal. 82).


Genre ‘hip-hop lokal’ menjadi marak, termasuk di Yogyakarta sendiri. Kebudayaan Jawa, dari filosofi hingga kebiasaan hidup, menjadi sumber inpirasi utama materi di dalam lirik-lirik seniman hip-hop Jawa, terutama di Yogyakarta. Ini kemudian dipadu dengan nilai-nilai konvensional hip-hop yang juga sudah ’pakem’ seperti bahasa slang, gaya pakaian, gaya panggung, attitude, bunyi-bunyian pengiring, dll. Seniman hip-hop Jawa Yogyakarta seringkali menggunakan batik tetapi dengan gaya berpakaian ala hip-hop yang serba ’big size’, bebunyian asli Jawa yang digabungkan dengan bebunyian ala hip-hop atau alat musik elektro modern. Mereka sering menyebut gaya mereka sebagai gaya ’Javanese ghetto’.
Di Yogyakarta sendiri, komunitas hip-hop pertama kali dibentuk pada tahun 2003 di bawah bendera ’Jogja Hip-Hop Foundation’ oleh Mohamad Marzuki atau seringkali dipanggil dengan nama rapper-nya ’Kill The DJ’. Komunitas hip-hop ini juga merupakan suatu perkumpulan yang erat kaitannya dengan Yayasan Berkata-Kata Cepat Yogyakarta. Gaya hip-hop yang dibawa oleh komunitas hip-hop di Yogyakarta ini lebih banyak bercerita tentang kehidupan sehari-hari, adaptasi pusisi-pusi dan literatur tersohor nusantara.


Pionir-pionir hip-hop Jawa di Yogyakarta pun menjadi pionir dari pembentukan Jogja Hip-Hop Foundation. Dari Mohamad Marzuki (Kill The DJ), DJ Vanda serta grup hip-hop Jawa senior yang muncul medio 1990-an seperti G-Tribe, Rotra atau Jahanam. Selain membawakan karya sastra Jawa atau budayawan Jawa, grup musik hip-hop Jawa di Yogyakarta juga terkenal fasih menyuarakan hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari (semangatnya sama seperti gerakan Iran New Wace Cinema yang telah diperkenalkan oleh penulis di bagian pengantar tulisan ini) seperti kehidupan juru parkir (contohnya lagu rap ”Jogo Parkiran” oleh grup G-Tribe yang sangat terkenal di kalangan penikmat musik hip-hop Jawa di Yogyakarta dan Surabaya), kegiatan di pasar atau bahkan hal-hal yang terkadang tabu seperti seks atau aktivitas kriminal tertentu. Filososfi mereka jelas: hip-hop itu awalnya suara kaum teropresi, hip-hop itu awalnya suara rakyat jelata, maka hip-hop, walaupun mengglobal, harus dipertahankan sebagai medium untuk menyuarakan tuntutan akan keadilan, kesetaraan hingga klaim otentisitas dan penghargaan terhadap perbedaan.




Salah satu narasumber bagi tulisan ini menekankan bahwa sebagian besar seniman musik hip-hop Jawa di Yogyakarta, terutama yang bergabung di dalam Jogja Hip-Hop Foundation mengakui bahwa mereka memiliki minat awal yang besar terhadap hip-hop terlebih dahulu. Identitas ke-Jawa-an mereka kemudian menjadi terkait di dalamnya karena mereka merasa perlu untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki ikatan sosio-kultural yang kuat terhadap tanah kelahiran mereka. Bagi mereka, karakteristik globalisasi yang mencakup intensitas, kedalaman dan kecepatan pengaruh serta arus informasi yang dinamis sangat membantu mereka dalam mewujudkan keinginan tersebut. Terlebih lagi, salah satu ide utama dari genre musik hip-hop adalah penghargaan terhadap otentisitas, sehingga menunjukkan kebudayaan Jawa sebenarnya sangat berakar dari semangat ini. Hasilnya, dapat dilihat hip-hop Jawa secara nyata menjadi bukti adanya hibridisasi atau sinkretisasi budaya di dalam proses globalisasi.




Hip-Hop sebagai Ikon dan ’Industri Budaya’ Theodor Adorno


Barangkali, sebagian dari kita bertanya-tanya, mengapa kemudian hip-hop menjadi sebuah konsep yang padoksikal seperti yang kita lihat sekarang. Ia bisa jadi medium perjuangan nirkekerasan, ia bisa jadi bernafaskan kekerasan dan bahkan seringkali diasosiasikan dengan tindakan kriminal oleh kaum kulit putih di Amerika Serikat, ia adalah medium penyampaian ’wong cilik’ di Yogyakarta, tetapi juga di sisi yang lain, hip-hop adalah tentang ekspresi anak muda kelas atas di Jakarta yang ingin tampil tidak ketinggalan zaman dengan gaya pakaian yang serba mahal. Ini semua dapat dijawab dengan pernyataan: ”Hip-hop adalah sebuah ikon”. Dan globalisasi jelas membantu dalam proses ikonisasi hip-hop itu sendiri.


Mary F. Rogers di dalam karyanya “Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme” menegaskan:
(Rogers, Mary F. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme. (2003). Penerbit Bentang Budaya: Yogyakarta. (Diterjemahkan dari Rogers, Mary F. Barbie Culture. (1999). Sage Publications: London) bahwa Barbie, atau musik hip-hop dalam konteks tulisan ini, adalah sebuah ikon budaya yang tidak dapat direduksi menjadi makna-makna tertentu yang secara tegas saling terpisah. Kodrat keduanya sebagai ikon budaya adalah selalu penuh dengan berbagai makna yang dapat menarik berbagai karakter individu dan menghasilkan pemahaman serta manifestasi yang bisa sangat jauh berbeda satu sama lain. Tidak ada satu ikon pun yang hanya mewakili satu dimensi atau satu aksis kebudayaan. Tetapi, secara substansial, ikon adalah gambaran apa yang diciptakan setiap orang atau komunitas tertentu di dalam dunianya sendiri.




Penulis ingin menggarisbawahi, alam komunitas hip-hop Jawa sangatlah berbeda dengan komunitas hip-hop di Jakarta, terutama mereka yang seringkali hanyalah poser belaka, bukan seniman musik hip-hop yang loyal pada karya idealis atau membawa suara orang kecil di sekitarnya. Mereka sangat terilusi oleh standardisasi budaya hip-hop, yang sebagian besar bukan ditetapkan oleh seniman musik hip-hop perintis di Amerika Serikat di akhir tahun 1970-an, tetapi oleh pebisnis dan pengusaha yang kegiatan bisnisnya berputar di sekitar budaya hip-hop (seperti pakaian, sepatu atau bahkan jam tangan mewah dan mobil sport mahal).
Tak dapat disangkal, hip-hop memiliki celah industri yang sangat besar karena ia adalah salah satu kultur yang paling digemari oleh banyak orang di seluruh dunia. Budaya hip-hop mengalami komodifikasi, standardisasi dan masifikasi yang bisa jadi hanya menguntungkan beberapa pihak yang mungkin tidak begitu memahami filososfi musik hip-hop yang awalnya adalah gerakan kaum teropresi. Bayangkan citra seperti ini: di salah satu sudut di kota Yogyakarta, sebuah grup hip-hop mementaskan lirik-lirik yang mengeritik kelambatan pemerintah merespon kasus Lapindo tetapi di salah satu tempat berkumpul anak muda kelas atas di Jakarta, lirik musik hip-hop adalah tentang memiliki mobil sport mahal yang bisa menarik perhatian banyak perempuan.
Barangkali tak ada pemikiran yang lebih baik untuk menjelaskan fenomena seperti ini selain dengan menggunakan pemikiran Theodor Adorno dan Max Horkheimer yang terkenal tentang ‘industri budaya’ dari karya mereka, “Dialectic of Enlightenment” (1944). Simak tulisan di bawah ini:




Sebagaimana dikemukakan Adorno, industri budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas… dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan. Dengan kata lain, industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif komersial, sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta masifikasi. Komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk budaya sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan. Standardisasi berarti menetapkan kriteria tertentu yang memudahkan produk-produk industri budaya itu mudah dicerna oleh khalayaknya. Adapun masifikasi berarti memproduksi berbagai hasil budaya dalam jumlah massal agar dapat meraih pangsa pasar seluas-luasnya.


(Lukmantoro, T. ”Industri Budaya”. Harian Suara Merdeka, 4 November 2003. hal. 4.)


Bagi Adorno, industri budaya berakibat adanya anti-pencerahan. Anti-pencerahan ia definisikan sebagai munculnya dominasi industri kapitalis yang kemudian menjadi alat ilusi massal serta membelenggu kesadaran sejati manusia; menghindarkan mereka dari kemandirian untuk menilai dan memutuskan sendiri sesuatu hal secara bebas. Ada standardisasi yang membuat munculnya mass culture dalam berbagai bentuk dan fenomena.
( Pendekatan lain yang juga dapat digunakan untuk melihat fenomena ini adalah melalui penjelasan tentang ’bentuk kontrol yang baru’ oleh Herbert Marcuse di dalam karyanya ”One Dimensional Man” (1964)).



Film atau musik kemudian secara terang-terangan tidak lagi menunjukkan karakteristiknya sebagai sebuah seni. Industri hip-hop yang masif pun dapat dikatakan demikian. Berbagai produk fisik dan jasa disematkan ke dalam budaya hip-hop yang sudah paradoks itu, sehingga menghasilkan loyalitas kepada materi, bukan pada filososi idealis hip-hop itu sendiri.
Industri budaya mempreservasikan fetisisme komoditas melalui pembentukan selera dan kecenderungan publik sekaligus mendefinisikan (secara terbatas) apa yang menjadi keinginan dari publik, sehingga sama saja dengan mengendalikan mereka untuk mengonsumsi apa yang mereka produksi. Pertukaran yang terjadi dalam industri semacam ini kemudian menjadi ’pseudo-exchange’, karena publik tidak kemudian membayar ’nilai-nilai’ yang memang seharusnya mereka bayar. Ini berarti, industri budaya mengesampingkan kebutuhan dan keinginan yang riil dari manusia serta mematikan potensi oposisi atau strategi alternatif dari diri mereka, bahkan tanpa mereka sadari (seperti konsep budaya bisu di dalam Pedagogy of the Opressed karya Paulo Freire).




Adorno memberi contoh tentang seseorang yang lebih bangga akan harga tiket yang ia bayarkan untuk menyaksikan konser Toscanini daripada nilai estetis dari musik sang komposer itu sendiri. Industri hip-hop pun sering dikritik demikian. Ketika seorang penikmat datang ke pertunjukan musik hip-hop, ia merasa bangga dengan citra yang akan terkait padanya, yaitu citra mewah dunia industri hip-hop. Sangat berbeda ketika seorang mahasiswa datang ke event seperti Poetry Battle yang diadakan Jogja Hip-Hop Foundation setiap tahun, dimana agenda utamanya adalah membicarakan isu ’rakyat’ dengan medium musik hip-hop yang ’membumi’. Sang mahasiswa bisa jadi merasa terikat dengan event itu karena nilai filosofis-idealis yang ditawarkan oleh seniman musik hip-hop tentang keberpihakan kepada orang kecil.


Penutup


”... and we always need to hear both sides of the stories...”


Both Sides of the Stories, Phil Collins, 1993
(Dikutip dari lirik lagu berjudul “Both Sides of the Stories” ciptaan Phil Collins dari albumnya “Both Sides” yang dirilis pada tahun 1993 oleh WEA Records.




Lirik lagu di atas mencerminkan keinginan penulis untuk menyimpulkan bahwa hip-hop Jawa di Yogyakarta sejatinya adalah sebuah bukti akan dua hal: adanya niat untuk hidup koeksisten dengan nilai-nilai luar tetapi di sisi lain juga berusaha resisten terhadap komodifikasi, standardisasi serta masifikasi terhadap nilai-nilai yang tidak riil dari genre musik hip-hop itu sendiri. Hip-hop Jawa tetap mempertahankan respek terhadap seniman musik hip-hop yang lahir di Amerika Serikat sebagai pionir genre tersebut. Mereka pun loyal dengan filosofi serta semangat utama musik hip-hop yaitu otentisitas, keunikan, harga diri, kemandirian, protes terhadap opresi dan ketidakadilan serta konsep ‘membumi’, bukan sebaliknya. Mereka pun di sisi yang lain, memiliki respek terhadap ikatan mereka terhadap identitas ke-Jawa-an dan merasa bahwa penggunaan identitas tersebut justru merupakan bukti nyata bahwa mereka menghargai otentisitas yang mereka miliki. Keinginan mereka untuk menyuarakan pikiran atau protes disalurkan melalui genre hip-hop yang telah direkontekstualisasi dengan menggunakan sumber, pengetahuan, ‘aksesori’ budaya serta isu lokal.




Pertanyaan pertama dari tulisan ini dengan demikian telah terjawab yaitu bahwa hip-hop Jawa di Yogyakarta adalah memang sebuah hasil hibridisasi atau sinkretisme budaya yang prosesnya berjalan notabene cepat serta intesif karena adanya globalisasi yang memungkinkan pertukaran informasi, nilai serta media ekspresi komunitas tertentu untuk menunjukkan ikatan dengan aspek sosio-kulturalnya. Seniman hip-hop Jawa di Yogyakarta adalah dapat dikatakan sebagai agen hibridisasi budaya yang aktif di dalam proses globalisasi.


Referensi:


Adorno, Theodor Wiesengrund; Horkheimer, Max. Dialectic of Enlightenment. (1944). [Chapter I: The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception, transcribed by Andy Blunden in 1998] in Marxist Work Archive – Digital Library.


Boyd, Todd. The New H. N. I. C (Head Niggas in Charge): The Death of Civil Rights and the Reign of Hip-Hop. (2003). New York University Press: New York and London.

Drissel, David. Hip-Hop Hybridism: Diasporic Youth Constructing Black-Inflected Identities. Paper presented at the annual meeting of the American Sociological Association, New York, New York City. August 10, 2007.

Friedman, Jonathan. Cultural Identity and Global Process. (1994). Sage: Thousand Oaks, California.

Holton, Robert. ‘Globalization’s Cultural Consequences’. Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 570, ‘Dimensions of Globalization’, (Jul., 2000), pp. 140-152. Sage Publications, Inc. in association with the American Academy of Political and Social Science.

Lorenzen, Janet. Global Consumption: McDonaldization or Multicultural Hybridization? (2007). Rutgers University.

Rogers, Mary F. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme. (2003). Penerbit Bentang Budaya: Yogyakarta.

Mustadhafin atau Proletariat?



"Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx lahir".
Haji Agus Salim
Kongres Nasional VI Sarikat Islam, Surabaya, Oktober 1921

Tampaknya ada kesamaan antara Nabi Muhammad, Tan Malaka, Ali Syari'ati, dan Haji Agus Salim: pandangan tentang Islam sebagai agama yang bersifat progresif-revolusioner dan berfungsi sebagi "teologi pembebasan". Jika Marx pernah menyatakan (dan selalu mempercayai) bahwa agama adalah candu, maka tokoh-tokoh di atas dengan kepercayaannya terhadap Islam sebagai teologi pembebasan melihat agama mereka sebagai alat revolusi; aksi melakukan perubahan fundamental dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Perubahan-perubahan itu setali tiga uang dengan apa yang diinginkan oleh kaum sosialis seperti kepemilikan kolektif modal - modal produksi, masyarakat egaliter, dll sesudah sebelumnya mencapai kesadaran kelas yang dalam bahasa Ali Syari'ati disebut sebagai 'tingkat kesempurnaan masyarakat madani dan tauhidi'.
Kesamaan lainnya dari tokoh-tokoh di atas adalah posisi mereka sebagai penganut Islam, yang menganalisa dengan menggunakan sudut pandang keislaman serta kemudian menarik kesamaan antara sosialisme dan Islam itu sendiri; semuanya dengan bertumpu pada kenyataan bahwa mereka mempercayai suatu agama yang menurut Marx dan pendukung kuatnya, Nikolai Bukharin adalah sesuatu yang superstitious, naif serta berlawanan dengan kenyataan ilmiah. Mereka semua memiliki common ground tentang betapa konsep-konsep Islam sebenarnya adalah konsep yang 'membebaskan' sekaligus menaikkan 'derajat' kaum proletariat (dalam bahasa Al Qur'an disebut sebagai mustadhafin -- orang yang tertindas), karena itu revolusi seyogyanya mampu dijalankan oleh penganut Islam. Tulisan ini kemudian berusaha untuk menganalisa yaitu "Di titik mana Islam dan sosialisme bertemu?"

Pembahasan
Dalam tulisannya Spiritual Liberation - The Next Step to Economic Liberation (Bab VII dalam Programme of the World Revolution), Bukharin menjadi sosialis kesekian yang mengutip argumen Marx tentang agama adalah candu di dalam tubuh kaum proletariat yang membuat mereka justru tidak memiliki kemampuan atau kemauan untuk melakukan revolusi. Agama menjadi sebuah kekuasaan yang menindas. Surat-surat penebusan dosa diperjualbelikan dengan harga tinggi, para petinggi agama memiliki akses yang tinggi terhadap kekuasaan dan bisa bertindak sewenang-wenang, sedangkan kaum proletariat, 'dibombardir' dengan kisah-kisah manusia suci sekaligus dosa -dosa mereka. Yang membuat lebih parah adalah keadaan mereka yang tertindas seringkali digambarkan memang sudah seharusnya sebagai sebuah bentuk pengorbanan yang akan memberikan kompensasi akhir: surga. Tak heran bila Marx dan pendukung kuatnya menjadi oposisi utama dari kehadiran agama.



Adapun orang-orang Indonesia, dari dahulu sampai sekarang, secara sosiologis maupun antropologis, tidak mungkin menjadi masyarakat materialis seperti dogma Marxisme. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang selalu percaya akan adanya kekuatan lain diluar dirinya, yang menguasai alam serta isinya dan ini bersifat gaib. Ditambah lagi, sepanjang sejarah orang-orang Indonesia bukanlah manusia-manusia yang dihadapkan pada pilihan sekularisasi secara besar-besaran. Mereka membawa agama dan keyakinan sebagai hal yang tetap penting dalam menerjemahkan fenomena yang mereka hadapi atau alami. Keyakinan itu adalah Islam yang adalah agama dominan di Indonesia. Tan Malaka, misalnya, lahir dan berkembang di Sumatra Barat yang didominasi oleh kultur Nagari yang sangat terpengaruh dengan sistem kekhalifahan khas Islam-Arab.
Sebutlah Tan Malaka, Haji Agus Salim atau Ali Syari'ati adalah orang-orang yang mampu melawan argumen Bukharin, "Many weak-kneed communists reason as follows: 'Religion does not prevent my being a communist. I believe both in God and in communism . My faith in God does not hinder me from fighting for the cause of the proletarian revolution. 'This train of thought is radically false. Religion and communism are incompatible, both theoretically and practically. "Tokoh-tokoh ini memiliki kepercayaan bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad adalah ajaran sosialisme. Ulil Abshar Abdala, intelektual Jaringan Islam Liberal (JIL), menguatkan pandangan ini dengan menyatakan bahwa jika seseorang mengaku sebagai penganut Islam, maka seharusnya mereka membawa watak sosialisme di dalam pemikiran mereka. Tetapi, kenyataannya, tidak satu partai Islam-pun di Indonesia yang membawa panji-panji sosialisme, bahkan banyak yang menentangnya.



Bukharin Tentang Mengapa Agama dan Komunisme Tidak Berkesesuaian
"The Transition from socialism to communism, the transition from the society which makes and end of capitalism to the society which is completely freed from all traces of class division and class struggle, will bring about the natural death of all religion and all superstition".
Dalam tulisannya bersama Phreobazensky, The ABC of Communism, Bukharin menyampaikan argumen bahwa setiap kaum komunis harus melihat fenomena sosial (hubungan antar manusia, revolusi, dll) sebagai proses yang terjadi berdasarkan hukum yang mutlak. Hukum pembangunan sosial secara penuh dikembangkan oleh komunisme dan sosialisme ilmiah di atas dasar teori materialisme historis. Teori ini menjelaskan, salah satunya, bahwa perkembangan sosial tidak dibawa oleh satu kekuatan gaib apapun.
Bukharin melihat, ketidakberdayaan kaum kelas pekerja dimanfaatkan oleh kaum borjuis dengan berusaha mengabadikan pemikiran religius mereka. Bukharin menyebutnya sebagai pemikiran dan kepercayaan yang kekanak-kanakkan, terutama terhadap keajaiban atau mukjizat yang diklaim oleh kaum borjuis (bersama institusi Gereja) sebagai kenyataan. Lagi, Bukharin menyatakan bahwa kunci dari teka-teki kebenaran mukjizat adalah sangat tergantung pada 'pundi-pundi dan kantong uang para pengeksploitasi'.
Bagi Bukharin, ada konflik yang tidak dapat direkonsiliasi antara prinsip-prinsip taktik kaum komunis dengan perintah-perintah dan ilmu agama. Misalnya saja ketimpangan asal-usul manusia atau konsep di dalam Injil yang berbunyi "Whosoever shall smite thee on thy right cheek, turn to him the other also ". Kaum kelas pekerja dianggap Bukharin sudah terlalu sering menyediakan 'pipi kanannya untuk ditampar, setelah yang kiri telah diperlakukan sama'. Watak seperti ini membuat kelas pekerja yang bergantung pada pandangan naïf bahwa agama hanya sekadar jalan menuju surga (atau pilihan lain, neraka) kemudian 'mengamalkan' konsep di atas tanpa melihat bahwa inilah konsep yang dipertahankan oleh para pengeksploitasi untuk kemudian dihiasi dengan keinginan-keinginan untuk mengumpulkan kapital.



Mustadhafin dan Mustakbiri serta Sosialisme Islam
Dalam menjawab pertanyaan tentang di titik mana Islam dan sosialisme bertemu, sebelumnya harus dimulai dengan mencari tahu bahasa antagonisme kelas Islam yang sama dengan bahasa antagonisme kelas sosialisme. Dimulai dari kaum-kaumnya, Al-Qur'an beberapa kali menyebutkan kaum-kaum yang bernama mustadhafin dan mustakbirin. Dalam bahasa Marxis, mustadhafin adalah sama dengan kaum proletariat; kaum yang 'terlucuti' dan mustakbirin adalah sama dengan kaum borjuis; kaum penindas, dari era feodalisme hingga kapitalisme modern.
Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini menjadikan Mekkah sebagai pusat kapitalisme, terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Nabi Muhammad, lahir di di atas keadaan ini .
Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang tak berada yang penghidupannya bergantung pada pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih sangat awam serta menyembah banyak sekali subyek gaib. Perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup. Ada banyak budak, janda dan anak yatim yang nasibnya tak kalah mengenaskan. Muhammad sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun keturunan bangsawan suku Quraisy. Ia diutus oleh Tuhan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia terpaksa melarikan diri dari Mekkah ketika ajaran pembebasannya ditolak.
Muhammad, yang secara harfiah berarti manusia yang terpuji, diklaim sebagai nabi terakhir dan merupakan tokoh revolusioner pertama di zaman modern. Ia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.
Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya dimana masyarakat menggantungkan hidup. Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad dengan ajaran-ajarannya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat Muhammad yang dulunya juga seorang budak. Dengan sahabat dan para pengikutnya inilah, Muhammad berjuang membebaskan 'mustadhafin' dari monopoli 'mustakbirin'.
Dalam bahasa Islam, ada terma-terma yang sama dengan bahasa sosialisme serta pemikiran Marxis; konsep-konsep seperti kesadaran kelas, antagonisme kelas, masyarakat tanpa kelas, perlawanan terhadap kapitalisme hingga 'expropriation of the expropriator'.



Kesadaran Kelas
Ali Syari'ati, intelektual muslim Iran yang juga seorang sosialis, pernah menyatakan bahwa kaum muslim di masa Muhammad yang didominasi oleh orang-orang yang tertindas telah mencapai kesadaran kelas mereka. Syari'ati menyampaikan bahwa indikator kesadaran kelas itu ada tiga pilar (yang harus dicapai dengan pemberontakan untuk memperbaiki nasib) yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan daya cipta. Ketika suatu kelas telah mencapai ini, maka mereka telah mencapai kesadaran yang sejati. Berbeda dengan kaum mustakbirin yang akan terus mendapatkan false consiousness apabila mereka, setelah dikalahkan oleh mustadhafin kemudian menganggap diri mereka sebagi kaum kontra-revolusioner.

Perjuangan Kelas
Al Qur'an Surat Al Ra'du ayat 11 berbunyi demikian: "Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka". Dari penafsiran ayat ini, terlihat bahwa bila kaum mustadhafin tidak mengubah keadaan mereka sendiri dengan berjuang melepaskan belenggu yang dililitkan mustakbirin di leher dan di kakinya, maka mereka tetap akan tertindas dan miskin. Kaum mustadhafin tidak akan berubah keadaannya, bila mereka hanya mengharap belas kasihan kaum mustakbirin. Kaum mustakbirin tidak akan dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka pasungkan pada leher dan kaki mustadhafin . Perjuangan melepaskan belenggu dari tubuh kaum mustadhafin adalah perjuangan kelas dalam bahasa Karl Marx baik dengan cara-cara reformasi atau revolusi. Ini juga sesuai dengan pernyataan Marx yang sangat terkenal di dalam karyanya, The German Ideology; "The proletarians have nothing to lose but their chains. They have a world to win. Workingmen of all countries, unite! "



Aksi Melawan Kapitalisme
Di dalam Al Qur'an Surat Al An'am ayat 145 dikatakan bahwa dilarang untuk meminum darah yang mengalir. Penafsiran ayat ini sebenarnya lebih dalam dari sekadar, misalnya, menggores tubuh seseorang dengan benda tajam kemudian meminum darahnya, tetapi juga lebih dari itu. Ayat ini juga berarti bahwa ketika seseorang atau suatu kaum yang berkuasa kemudian menghisap keringat budak-budak yang ia miliki, memakan hasil pekerjaan orang lain, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian orang lain (oleh Marx disebut sebagai "meerwaarde" - nilai lebih), maka itu sama dengan meminum darah yang mengalir. Konsep Islam sebagai teologi pembebasan sangat melarang hal ini. Ini dapat dijadikan justifikasi bahwa Islam - sosialisme Islam, memerangi kapitalisme hingga ke akar-akarnya. Meerwaarde dalam bahasa Islam adalah sama dengan riba.

Kaum Proletariat Yang Menjadi Pemimpin
Dalam Al Qur'an Surat Al Qashas ayat 5-6 ditegaskan bahwa Islam meninggikan posisi kaum mustadhafin dan mendukung perjuangan mereka untuk mengalahkan kaum mustakbirin serta menjadikan kaum mereka sebagai pemimpin yang tidak korup. Ini menjelaskan betapa Islam tidak netral dalam bersikap melihat konflik antara kaum mustadhafin dan kaum mustakbirin. Ini sangat mencerminkan sosialisme itu sendiri, terutama konsep yang ditawarkan oleh Karl Kautsky, 'the expropriation of the expropriator'. Kaum mustadhafin adalah kaum pengambil alih yang melakukan cara-cara yang dapat menutup keran kapitalisme serta korupsi kaum mustakbirin.
Sayangnya, Islam kemudian malah tumbuh menjadi sistem yang memapankan kekuasaan mustakbirin; Islam menjadi sekadar ritual yang keberadaannya justru menjustifikasi keputusan-keputusan yang memundurkan kaum mustadhafin. Misalnya saja kekuasaan syah di Iran sebelum berlangsungnya revolusi. Para ulama hanya dijadikan tempat meminta justifikasi terhadap kebijakan-kebijakan yang sebenarnya bersifat tiran. Revolusi Iran sendiri sebenarnya juga dimotori oleh kebangkitan konsep sosialisme Islam. Aspirasi menjadikan kaum mustadhafin menjadi pemimpin adalah karena ada kecenderungan bahwa mereka yang tertindas justru adalah yang paling demokratis dan paling egaliter, suatu konsep yang juga populer di kalangan kaum sosialis / komunis.



Masyarakat Tanpa Kelas
Tauhid adalah pegangan semua ajaran yang bersumber dari Islam. Tauhid tidak selalu harus dilihat sebagai cara melihat Tuhan yang satu, tetapi juga aspek yang lain. Tauhid dalam perspektif "teologi kaum tertindas" lebih ditekankan kepada keesaan ummat manusia. Dengan kata lain, doktrin konsep tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta ataupun kelas. Konsep masyarakat tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas yang diinginkan pula oleh kaum sosialis / komunis. Dalam masyarakat tauhidi ini, masyarakat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena kedudukan sosial, jenis kelamin, warna kulit, dll. Dan itu adalah sama dengan cita-cita masyarakat komunis.

Islam Sebagai "Teologi Pembebasan"
Teologi pembebasan pada awalnya muncul di kawasan Eropa pada abad ke-20 dan menjadi konsep penting dalam studi agama; melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan sudut pandang baru untuk memperbaiki sistem sosial manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan ideologi manusia itu sendiri.
Ada beberapa doktrin yang dibawa oleh teologi pembebasan secara umum, yaitu: 1) gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3 ) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) suatu pembacaan baru terhadap teks keagamaan, 5) perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
Dalam melihat Islam sebagai teologi pembebasan, karya dan pemikiran seorang Ali Syari'ati dapat menjelaskan secara gamblang konsep 'membebaskan' dalam Islam. Ali Syari'ati termasuk ke dalam mereka yang menjadi saksi sejarah betapa rezim Syah di Iran menciptakan Islam yang terbatas pada ritual yang sama sekali tidak menyentuh aspek-aspek politik dan sosial kemasyarakatan; tanpa petunjuk untuk melawan kebodohan atau strategi menciptakan keadilan. Bagi Syari'ati, Islam gaya rezim Syah di Iran adalah Islam rigid dan bergaya penguasa, sementara Islam progresif-revolusioner adalah Islam yang bergaya " Abu Dzar "; kreasi simbolis Syari'ati sebagai seorang muslim yang tegar, revolusioner yang mengkhotbahkan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan pembebasan dalam buku karyanya, Abu Dzar-e Ghifari.
Gagasan Syari'ati tentang Islam revolusioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari'ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Agama yang seperti inilah yang membuat Marx menyatakan bahwa ia adalah candu yang menghibur kaum tertindas yang sedang 'bersusah hati' dan alfa melihat ketidakadilan di sekitar mereka.
Lihatlah bukti ketika Muhammad mengadakan perlawan terhadap kaum kapitalis di Mekah. Kaum kapitalis sebenarnya memiliki ketakutan yang lebih mendasar daripada sekadar kehilangan berhala-berhala mereka. Ketakutan itu bersumber dari ketidaknyamanan menerima doktrin egalitarian Muhammad yang akan memberikan konsekuensi sosial ekonomi yang besar bagi mereka. Karena itu , tidak seperti yang orang banyak ketahui, sebenarnya persoalan Muhammad dengan kaum kapitalis Mekah bukan hanya sekadar persoalan "agama baru".



Syari'ati dalam bukunya Eslamshenasi (Islamology) menyatakan bahwa kesyirikan tidak saja berarti menolak Tuhan. Jika pada zaman Jahiliyyah di Mekah, tuhan-tuhan palsu itu dimanifestasikan dalam wujud berhala-berhala, maka pada zaman modern ini, tuhan-tuhan palsu terwujud dalam banyak aspek dan bidang yang lebih luas dan komplek dari sekadar berhala-berhala sesembahan yang dianggap syirik atau menyimpang. Perwujudan modern kesyirikan dapat dijumpai pada kasus di mana orang melakukan tindakan yang merupakan monopoli Tuhan, dengan begitu berarti menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan.

Penutup
Sosialisme selalu dijadikan bahan perdebatan karena ia sendiri adalah konsep yang 'multi-interpreted'. Ia lebih sering dikaitkan dengan kepercayaan seseorang atau kelompok tentang bagaimana seharusnya sosialisme itu dan apa yang harusnya dilakukan untuk menuju sosialisme. Intinya, 'socialism is more a question of belief than a question of debate '. Tetapi, yang menjadikan pemikiran sosialisme Islam berbeda adalah sumber-sumber yang memperlihatkan kesamaan Islam dengan nilai-nilai yang dipegang erat oleh kaum sosialis / komunis adalah sumber-sumber yang dipercaya tidak dibuat oleh manusia melainkan sebuah wahyu yang membuatnya terlepas dari prasangka atau rancangan kaum tertentu untuk mengontrol kaum lain. Terlepas dari benar salahnya hal ini, pemikiran Marx adalah sebuah metode, bukan dogma. Pemikiran Marx adalah sesuatu yang masih dapat dipatahkan, layaknya sebuah teori yang akan selalu mengandung ketidaksempurnaan di dalamnya.
Terlepas juga dari dapat diterima atau tidaknya sosialisme Islam, paling tidak Tan Malaka, Ali Syari'ati atau Haji Agus Salim telah cukup berhasil menjadikan agama sebagai poppy seed; menggunakan agama secara konkret sebagai 'pemberi rasa' dalam aspek nyata kehidupan; bukan candu yang mematikan potensi revolusioner dalam diri mereka. Kritik Bukharin dapat djabarkan dengan definisi baru bahwa seharusnya eksistensi beragama tidak bisa diukur sejauh mana ia berhubungan dengan Sang Khalik, tetapi sejauh mana ia telah mentransformasikan nilai-nilai keilahian pada kehidupan sosial.
Kaum muslim secara umum selayaknya selalu mempersiapkan diri untuk membangun pendekatan dalam menerima dan menyebarkan Islam yang dinamis yang dapat secara berkelanjutan direvisi, yang dapat menyesuaikan diri dengan isu dan fenomena yang terjadi di dunia dan lingkungannya serta menjadi cukup imajinatif dalam menangkap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di dalam model formal yang terkadang sulit ditebak-sebagaimana dapat kita sebut sebagai "sustainable curiousity".

Referensi:
• Bukharin, Nikolai I., Programme of the World Revolution (Chapter. XVII Spiritual Liberation - the Next Step to Economic Liberation ), 1918, Marxist Work Archive (online), November 3, 2008, p. 130.
http://www2.cddc.vt.edu/marxists/archive/bukharin/works/1918/worldrev/ch17.html
• Bukharin, Nikolai I.; Phreobazensky, Edward, The ABC of Communism (Chapter XI: Communism and Religion, 89. Why Religion and Communism are Incompatible), 1920, Marxist Work Archive (online), November 3, 2008, .
• Haque, Ziaul. Wahyu dan Revolusi. 2001. LkiS. Yogyakarta.
• Wahono, N. Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya. 2000. LkiS. Yogyakarta.