Thursday, February 16, 2012

For Joni Has Taught Me "Both Sides" of Life


Many songs might made you feel good, but few could made you think, weep, and not to mention, re-humanize you.


"Really, she is the Mozart of our times. We are so bombarded, so inundated, and even the language of our thoughts is intruded upon. Joni gives us a real framework, a simplicity that has depth, and in her later work, a journey to jazz. She is unequaled."

Monday, January 30, 2012

Hak Revolusioner: Buang Jenuh di Kuburan

Tulisan ini merupakan reinterpretasi kembali dari karya Emha Ainun Najib di dalam bukunya "Slilit Sang Kyai" (Penerbit Pustaka Utama Grafiti, 1988).
________________________________________________________________________

Ada beberapa orang yang saya kenal yang sejatinya mencerminkan jargon bahwa “untuk tetap waras, kegilaan adalah jawabannya”. Gila di sini tak selalu soal berjalan luntang-lantung di perempatan ibu kota, rambut awut-awutan atau apapun yang Anda pikir menjadi atribut dan penampakan khas dari seorang yang sedang sakit mental. Gila juga berarti mereka yang melawan arus besar, melawan persepsi dan keyakinan umum yang dipercaya oleh kebanyakan orang dan kemudian memilih untuk keluar dari area nyaman-aman-tenteram demi tercapainya identitas diri yang tidak ditunggangi oleh komando siapapun. Gila yang lain juga adalah tentang berupaya keras untuk membuat orang melihat kenyataan yang sebenarnya, walaupun orang yang dituju seringkali tak bisa memahami, dan ujung-ujungnya akan ditanggapi selorohan sengit, “Kamu gila ya?”.

Jenis yang terakhir ini yang ingin saya ceritakan. Saya tahu seseorang, yang kalau katanya orang Jawa ‘mbeling’-nya setengah mati. Tapi sebenarnya, beliau cuma seorang lelaki yang jujur dan mampu melihat apa yang kebanyakan orang tidak bisa lihat. Bukan, beliau bukan cenayang. Beliau tidak punya kemampuan indera keenam, tapi kalau kepekaan luar bisa dimasukkan ke dalam definisi indera keenam, maka beliau memilikinya. Tulisan saya kali ini merupakan alih bahasa (ke bahasa saya tentunya) dari tulisan milik beliau. Tapi tenang saja, saya bukan seorang plagiator. Karena kalau bisa, saya ingin jadi seorang ‘mbeling yang mandiri’ yang berguru pada ‘mbeling’ yang lain, tetapi sebagai hasil berguru, menghasilkan produk ‘mbeling’ saya sendiri.

Begini ceritanya.

Suatu hari, sekelompok pemuda yang mengklaim diri sebagai pasukan penjaga kemurnian agama menyambangi rumah seorang cendekiawan yang juga sering dilabeli sebagai alim ulama oleh orang lain yang merasa beliau punya cukup ilmu untuk masuk surga. Sekelompok pemuda ini mengutarakan keresahan mereka karena katanya semakin banyak orang di sekeliling mereka yang gemar berziarah ke kuburan, mencari wangsit berupa nomor buntut atau penerawangan peta harta karun. Mereka begitu marah. “Ini melawan ajaran agama! Kafir! Kenapa bapak diam saja?!”

Sang cendekia terkesiap, bukan karena kata-kata mereka. Tapi lebih karena aura arogan yang melingkupi wajah-wajah mereka, dan menghadirkan kesan tak bersahabat, walau katanya mereka semua itu keturunan pasangan manusia yang sama. Ia juga terkesiap karena sekelompok pemuda itu datang untuk meminta pertanggungjawaban darinya, seakan-akan apa yang ia pelajari ternyata tak mampu menahan orang meminta kepada tulang-belulang di tanah pekuburan dekat kediamannya.

“Apa Bapak tak ingin memberi komentar atau melakukan sesuatu untuk mencegah bentuk-bentuk kesyirikan, bidah, pelecehan agama dan kegilaan ini?! Saya sebagai seorang pemuda Muslim, yang dibesarkan dalam kaedah-kaedah Muslim merasa ini sebagai sesuatu yang tidak lagi bisa ditolerir! Kita harus memberantasnya, Pak! Saya siap berjihad!
Lalu sang Bapak berujar, “Begini lho Mas, saya ndak bilang kalau saya menyepelekan hal-hal yang masnya sebutkan tadi. Tapi maaf, ini ndak pada tempatnya. Panjenengan pernah makan es dawet dicampur sambal padang ijo? Ndak klop tho? Iya tho?”

Sang pemuda mengernyit. Ingin tertawa tapi gengsi. Tetapi yang pasti, belum paham. Makanya ia menyeloroh.

“Ini bukan perkara yang layaknya dibikin guyon Pak. Kanjeng Nabi Muhammad bisa guling-guling di kuburnya!”

“Lho, darimana tho panjenengan tahu Kanjeng Nabi guling-guling? Lha wong kuburnya cuma cukup buat berbaring horizontal, sedikit miring dengan tangan tersedekap. Tapi yo wis, begini lho Mas.. Apa itu syirik? Masnya wis paham tho? Mari melihat dari sisi lain. Orang kalau masuk kuburan itu tujuannya macam-macam, Mas. Lha kalo jari mas cuma ada sepuluh ndak akan cukup untuk menghitung. Ada yang mau aksi ala Lara Croft, jadi tomb raider, semata karena lapangan bermain biasanya sudah diubah jadi mal. Ada yang sembunyi dari tagihan lintah darat. Ada yang sembunyi dari istrinya yang terus merongrong untuk beli kulkas dua pintu. Ada yang sembunyi dari suaminya karena terus-terusan membujuk untuk diberi izin nikah kedua kalinya demi ‘menghindari zina’. Lha saya saja suka masuk kuburan kalau merasa jenuh. Jenuh diundang oleh komunitas ini, ormas itu, organisasi ini, kelompok pemuda itu. Saya jenuh dengan pertanyaan-pertanyaan khas abad ke-21 macam “memandang perempuan itu zina apa tidak?”, “film kalo memajukan tema pluralisme itu haram apa tidak?”, “caranya selamat dunia akhirat itu bagaimana?” atau kadang-kadang “Hugo Chavez itu kiri liberal, kiri tengah atau kiri-kanan?”

Sang bapak terus melaju.

“Tuhan mengizinkan kita untuk merasa jenuh, karena justru dari titik jenuh itu pembaharuan dimulai. Peranan kita sebagai manusia lebih sering terwujud ketika kita merasa jenuh akan sesuatu dan ingin menghasilkan hal baru. Jadi yang mau saya tanya: Apakah buang jenuh di kuburan itu syirik?”

“Lho ini kok semakin menjauh dari pertanyaan saya Pak?! Bukan itu maksud saya! Masak bapak ndak paham?”

“Saya hanya ingin bilang bahwa seseorang bisa dibilang syirik kalau sudah melibatkan hati dan sikap yang muncul dari jiwa yang berubah. Bukan semata karena kuburannya. Jangan mudah menuduh orang atau sembarang menyimpulkan gejala sosial kompleks seperti ini. Kalau ini Facebook, pasti saya sudah meng”like” Anda karena semangat Anda yang berkobar untuk memberantas aksi syirik. Tapi saya akan meng”unlike” Anda, karena Anda sudah sombong sama orang papa.”

“Lho Pak….?”

“Anda sebagai mahasiswa pasti sering membuat proposal tho? Untuk pengajuan dana, membuat pentas seni, menjalankan riset, dan sebagainya. Coba sekali-kali Anda mengajukan riset untuk meneliti siapa saja yang sebenarnya langganan pergi ke kuburan. Tapi jangan masukkan pejabat yang langganan ke Gunung Kawi. Saya berani jamin bahwa sebagian besar dari mereka adalah orang-orang dalam posisi mepet. Kalo Mas mungkin mepet juga, tapi setidaknya masih ada kiriman uang di rekening dari orang tua. Ditambah lagi, Anda termasuk di dalam sekelompok anak-anak bangsa yang masih diberi kesempatan dan peluang ekonomi untuk sekolah hingga perguruan tinggi, sehingga bisa mengelola hidup Anda secara rasional. InsyaAllah, kemungkinan Anda untuk menjadi pelanggan kuburan itu sangat kecil. Kalau menghadapi persoalan macam ketidakadilan ekonomi, Anda akan serta merta merancang diskusi publik, bukan berkunjung ke makam Kyai Bonokeling atau Sunan Begenjil. Kalaupun Anda tidak ingin menjadi bagian dari sistem kemapanan, Anda tetap tidak harus berurusan dengan kuburan. Anda bisa buat LSM, walau kadang Anda juga sering lupa tujuan Anda itu untuk “mereka” atau untuk “kita”. Pilihan non-kuburan lain yang paling mudah dilakukan mungkin adalah “menyantuni pengemis”, walau kadang Anda juga sering lupa bahwa Anda hanya sedang mengobati hati yang luka karena rasa kasihan. Anda punya harapan menang telak dari mereka-mereka yang putus sekolah, ndak sekolah atau DO.”

“Kenapa kok jadi menghakimi saya begini Pak?”

“Biar saya lanjutkan dulu. Yang mau saya katakan adalah: Hal-hal seperti ini ndak bisa dilakukan oleh mereka-mereka itu. Mereka ndak tahu caranya bikin proposal. Mereka lebih senang menyepi ke kuburan, minta harapan ke leluhur, hantu, dedemit, jurig atau apapun itu, karena satpol jauh lebih menyeramkan untuk mereka hadapi. Lebih baik kesurupan arwah Mbah Surip daripada digusur tiba-tiba sambil diseret-seret sepanjang jalan. Satu-satunya kesanggupan revolusioner yang masih tersisa bagi orang kecil yang melarat adalah menyimpun harapan di kuburan. Free of charge! Kok bangganya Anda merasa menjadi satpam iman, bahkan kadang membuat status Facebook yang gegap gemuruh gempita tentang jihad bahkan berani berkorban nyawa. Tapi sayangnya, Anda justru menghunuskan pedang Anda, menodongkan senjata Anda atau mengencangkan ketapel Anda ke tubuh-tubuh lemah-lunglai yang sudah berada di bawah ancaman badai api yang cuma sanggup menyepi ke kuburan. Anda sibuk mengawasi remaja putra dan putri yang berboncengan, menelpon teman sejawat dan memastikan mereka sudah shalat subuh, menggerebek kos yang dianggap mencurigakan, dan lain-lain. Apa ya tho Anda pernah mempertanyakan bagaimana sejarah sosial politik dari tikar atau sajadah kain beludru yang Anda pakai untuk shalat setiap hari? Anda ini tipe manusia yang baru bis abilang mencuri itu dosa, tapi belum bisa menelaah asal-muasal aksi pencurian itu. Ujung-ujungnya, Anda bikin kerajaan puritan sendiri dengan Anda sebagai raja sekaligus algojonya, dan menindas yang papa dengan senjata syariat. Kalau Anda mau baca lebih banyak, Kanjeng Nabi yang Anda sebut sedang berguling-guling itu memberikan definisi kafir dan syirik yang berbeda. Beliau mengajak orang untuk tidak menuhankan hal-hal yang tidak pantas dituhankan: pembodohan, pembudakan, ketidakpedulian, materi, ketidakadilan, kebutaan, ketidakseimbangan, dan lain-lain!”

“Lho Pak, ini semakin jauh dari tujuan saya…..”

“Karena itu jangan membangunkan singa yang sedang tidur! Terutama ketika Anda ndak tahu bagaimana cara menidurkannya kembali! Sudah saya mau ke kuburan dulu!”

Sofia Ariani
Yogyakarta, 22 April 2011

Saturday, January 28, 2012

Saya Memang Kampungan Bag. 1: Kondangan di Kampung



Ini tulisan yang tidak terlalu baru dan tidak terlalu lama. Tulisan ini saya sadur dan olah kembali dari tulisan Seno Gumira Ajidarma, "Kampungan yang Mesra", di dalam bukunya, "Affair: Obrolan Tentang Jakarta" (Penerbit Buku Baik, Cetakan I, 2004). Tidak, ini bukan plagiarisme. Saya hanya betul-betul terpesona dengan cara Bung Seno melukiskan riuh-rendah kampung di dalam tulisannya. Tidak berlebihan kalau saya bilang, tulisan-tulisan Seno Gumira Ajidarma membuat pembacanya lebih 'rendah hati'.

Terima kasih, Seno Gumira Ajidarma.
________________________________________________________________________

Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kota kelahiran saya ini sudah saya tinggalkan selama lima tahun dan hanya diselingi kepulangan-kepulangan singkat setiap akhir semester di kampus saya. Saya tinggalkan kota ini untuk mentransfer pertanyaan-pertanyaan soal banyak hal ke tempat-tempat lain. Dari Yogyakarta, Surabaya, Sumedang, Jakarta hingga Singapura dan Jepang.

Tapi kali ini saya betul-betul pulang, dan sudah sebulan saya berada di sini, membiasakan diri lagi dengan Balikpapan sekaligus di saat yang bersamaan diterpa oleh banyak sekali perubahan. Dari yang lama ke baru, dari yang blangsak ke yang berbudi, dari yang rendah ke yang mulia, dari yang lengang menjadi sumpek, dari yang bodoh menjadi cerdas, dari yang membosankan menjadi menarik, dan lain-lain.

Sewaktu keluar dari bandara, saya jadi ratu drama di kendaraan yang melaju menuju rumah. Bukan karena pesawat kepulangan saya ditunda hingga tujuh jam (Tuhan bersama orang-orang yang sabar, ingatlah itu Batavia Air #eh), tapi saya betul-betul menangis karena ternyata saya rindu pada semua hal yang ikut menjadi bagian dari pertumbuhan saya – dari anak balita yang kata mama punya naluri alamiah untuk selalu ingin tahu tentang apa saja ke anak usia tanggung yang kalau pakai seragam sekolah SD kancingnya selalu dikaitkan sampai atas, menahan jalan pernapasan saya. Dari remaja yang ingin coba-coba semua hal - ikut rohis dan pakai jilbab panjang ala Teh Ninih hingga bergabung di klub debat Bahasa Inggris SMA I Balikpapan yang anggotanya terkenal ‘beringas’- sampai menjadi anak usia kuliahan yang ngebet ingin meninggalkan Balikpapan dan melihat dunia luar.

Saya trenyuh. Saya ikut lebur bersama malam berhujan di Balikpapan hari itu. Saya betul-betul rindu itu semua. Hati saya ikut berdendang sambil mengikuti rinai rintik hujan di kaca mobil. Saya tersedu-sedu.... Ya, mungkin salah satu kelas favorit saya di kampus adalah Teori-Teori Sosialisme yang salah satu kegiatannya adalah mempelajari kemarahan Karl Marx akan kapitalisme hingga akhir hayatnya, tapi sesungguhnya saya ini ditempa oleh pejuang-pejuang dangdut melayu paling kesohor yang pernah dimiliki oleh negara ini yang tergabung dalam berbagai grup organ tunggal.

Betul, saya memang ‘kampungan’.

Ngomong-ngomong, saya ini berasal dari keluarga mungil. Anggotanya cuma empat: papa, mama, kakak dan saya sendiri. Kalau enam hamster, limabelas ikan hias, satu ekor penyu dan dua anak ayam warna kuning cerah bisa dihitung sebagai keluarga, ya berarti saya berasal dari keluarga besar. Suka-suka panjenengan-lah. Rumah kami juga mungil. Tak bersekat, dan dibanjiri tidak oleh berbagai aksesoris tipikal ibu-ibu bersasak tinggi di ibukota macam perlengkapan makan dari perak, koleksi pajangan kristal, lukisan reproduksi Basuki Abdullah atau foto besar sekeluarga dengan latar pemandangan menara Eiffel. Tanpa bermaksud pamer atau ingin menunjukkan pada orang bahwa kami keluarga intelek, rumah saya itu disesaki oleh beribu-ribu koleksi buku, film dan musik, sejak jaman ayah saya masih doyan bercelana cutbray dan berkemeja polkadot ketat hingga sekarang aktif sebagai pengurus masjid dan pakai celana di atas mata kaki. Eksistensi kami sekeluarga di kalangan tetangga dan handai taulan mungkin hanya dibuktikan dengan banyaknya pajangan cuma-cuma yang merupakan kenang-kenangan dari berbagai acara kondangan di kampung saya; nikahan, sunatan, khataman Al-Qur’an, nujuh bulanan hingga kenaikan pangkat. Dari potongan kuku, gelas kaca, kipas batik hingga kotak pensil. Kami memang keluarga eksis. Selalu ada nama kami di surat undangan orang-orang itu.

Ngomong-ngomong lagi, asal-usul saya itu memang adalah orang kampung. Saya tumbuh di sebuah daerah bernama kampung Klandasan, Balikpapan. Walaupun setelah itu keluarga kami pindah ke sebuah perumahan pinggiran kota yang orang-orangnya lebih sering menutup pintu rumahnya.Anyway, Jack Kerouac, penulis dan pionir Beat Generation yang nyentrik itu pernah bilang bahwa jalanan adalah tempat kita menemukan ‘wonders of the world’. Tapi di Indonesia, tempat itu buat saya justru lebih diwakili oleh kampung-kampung di tengah-tengah kota besar atau semi-besar.

Kampung, kampungan, orang kampungan. Ah, apa artinya itu semua. Saya juga tidak memiliki taraf kepahaman yang sudah mencapai moksa akan hal ini. Orang-orang elit, modern dan metropolis fasih mengucapkan kata ‘kampungan’, tapi itu tidak pernah mengacu pada dirinya sendiri. Pasti ke orang lain. Ya contohnya saya ini, orang kampungan. Sebaliknya, orang kampungan macam saya ini walaupun sudah kuliah dan punya gelar sarjana, tetap tidak fasih melafalkan kata ‘berkelas dan elegan’ seperti orang-orang modern itu. Yah, karena saya terbiasa tinggal di kampung, dimana saya lebih akrab dengan adegan demikian:

Sebuah acara pernikahan dengan latar belakang terpal yang dipasang melintang ke sana kemari tanpa gradasi warna yang teratur dan bisa membuat desainer interior sakit mata, dari biru ke jingga hingga merah terang; tenda untuk melindungi tamu undangan dari panas dan hujan yang dipasang dengan mengubah ruang publik menjadi ruang privat alias jalanan kampung; warna-warna terang menghiasi dekorasi singgasana pengantin dan dihias dengan buah-buahan tropis macam jeruk bali, pepaya, salak hingga pisang kepok; bapak-bapak berbaju batik yang berkeringat gombyos menikmati hidangan soto dan di kumisnya berlelehan kuah soto; kursi-kursi plastik yang di bawahnya teronggok tumpukan piring-piring bekas dipakai oleh tamu undangan –yang kalau tertendang niscaya tetap tak akan membuat orang kaget karena suaranya kalah nyaring dibandingkan bunyi penyanyi organ tunggal yang main sepanjang hari, wayang semalam suntuk atau layar tancap 24 jam non-stop berisi film-film India, serial Korea atau film horor soft porn Indonesia paling gres.

Masih mau yang lain?

Muda-mudi berlomba-lomba trendi, dengan pakaian dan aksesori terbaik. Ya mungkin bukan denimLevi’s tapi Lepis, bukan tas Gucci tapi Gussi, bukan dompet Prada tapi Plada, bukan jam Bvlgari tapiBerdikari – yang penting tetap mutakhir, walaupun mungkin jangan sampai dipelototin, karena palsunya akan kelihatan jelas. Pemudi berusaha berjalan dengan sepatu hak tinggi dan pemuda rambutnya bisa buat main perosotan karena dijajah oleh jel rambut bermerek Hasby, bukan Gatsby. Saya sendiri adalah salah satu dari generasi kampungan itu, yang menikmati dan mengamati gerak-gerik orang-orang ini. Walaupun layar tancap memutar film non-stop, biasanya kalau sudah adegan goyang atau baku hantam, barulah para pemuda menaruh perhatian, selebihnya mereka bercengkrama dengan pemudi. Saya suka melihat ibu-ibu yang akan segera berkelompok dan menginisiasi perbincangan mereka sendiri- paling sering berbisik-bisik tentang suami-suaminya. Biasanya setiap pembicaraan akan ditimpali dengan tawa berderai dan hujan reaksi "Husyhhhh, kok nggosipin suami!” Atau kadang mereka mengeluhkan harga-harga yang sepertinya tidak pernah turun atau perkembangan anak-anak mereka. Jangan jadi egois dengan menyebut ibu kita ‘rempong’. Ibu yang kita cintai dan selalu ada untuk kita itu juga butuh jeda dari kita-kita ini: anak-anak penuh tuntutan.

Saya? Saya biasaya duduk di belakang sambil makan sepiring berdua dengan ibu saya sambil memegangi gelas air minum dan sepiring kecil buah-buahan potong, karena tak ada meja untuk meletakkannya. Kami akan mandi keringat, dan biasanya setelah kondangan selesai akan sibuk mencari tisu makan yang sebenarnya tak layak untuk dialihfungsikan mejadi tisu fasial. Tetapi demi menghapus keringat yang jatuh tak bersahabat di hidung dan dahi kami, kami cukup legowo hanya menggosokkan tisu makan kasar ke wajah kami.

Apakah kami keluarga kampungan karena kami menikmati ribetnya kondangan macam itu?

Ya, mungkin. Tapi saya bangga jadi kampungan. Karena yang kampungan itu biasanya hatinya seluas samudera. Kalau keberisikan kondangan sampai memasuki jendela-jendela rumah, orang-orang ‘kampung’ ini dengan sukarela cuma mesem-mesem saja dan memaklumi keriuhan tersebut. Kondangan kampung itu ramai luar biasa, dan sebenarnya merupakan kegiatan yang cukup mulia: orang yang punya hajatan begitu bersyukur akan berkah yang ia terima, sehingga kegembiraan itu perlu dibagi ke sebanyak mungkin orang. Bukan hanya tamu undangan, bahkan mereka yang paling tak relevan sekalipun. Pedagang makanan akan ikut-ikutan mangkal di area kondangan, anak-anak kecil yang kakinya kotor habis bermain akan berusaha menyusup ke dalam dan menilap sepotong-dua potong ayam goreng, peminta-minta akan berjejer, bahkan kadang salesman keliling pun tak ragu menyumbangkan wajahnya, siapa tahu untung berpihak pada mereka hari itu. Jalan kampung yang milik publik itu dipinjamkan dengan sukarela oleh penduduk kampung untuk menempatkan jejeran kursi, agar jumlah tamu kondangan yang merangsek masuk tidak akan meruntuhkan rumah yang punya hajatan. Bukankah ini yang lebih dapat didefinisikan sebagai sebuah upacara sosial-religius yang tidak pandang bulu terhadap siapapun yang datang alih-alih standing party di hotel berbintang yang hanya diadakan untuk ‘kalangan terbatas’?

Layaknya kata filsuf kenamaan Prancis, Jean-Paul Sartre, bahwa orang lain adalah neraka, maka pastilah orang-orang kampungan macam saya ini adalah neraka buat kaum elit-modern-metropolis yang selalu lancar melafalkan kata privasi. Orang-orang kampung macam saya ini gaduh, tidak elegan dan tidak berkelas, tidak bisa melihat sikon dan lain sebagainya. Tapi buat saya, kondangan kampung justru melindungi saya dari orang-orang hasil cetakan sekolah kepribadian, dari kesepian di kota besar yang terlihat riuh, dari kepalsuan.

Kenapa? Karena yang kampungan itu seringkali lebih mesra, intim, erat, akrab dan selalu dihiasi oleh keramaian yang menghindarkan saya dari keterasingan.

Balikpapan, 25 September 2011

Untuk Adik yang Baru Wisuda: Parade Kata-kata Imut (Hadiah Wisuda dari Kakak untuk Saya)


Tulisan ini dibuat oleh kakak perempuan saya, Putri Prihatini, khusus untuk saya yang baru wisuda pada tanggal 19 Mei 2011 dengan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. This is definitely as good as my cum laude title!

_________________________________________

Barangkali orang-orang yang tahu akan bertanya-tanya kenapa saya belum juga memberi ucapan selamat, baik tertulis maupun lisan kepada Sofia Ariani yang baru wisuda. Sumpah, bukannya karena saya menganggap kelulusannya sebagai sesuatu yang tidak penting. Ada beberapa hal yang membuat saya berbuat begitu, dan kali ini, akan khusus saya beberkan dengan (ugh, terpaksa) parade kata-kata imut.

Untuk Sofia,
aku tidak memberi selamat karena kamu tahu aku ini orangnya kikuk sekali kalau harus mengatakan sesuatu yang bagus-bagus (entahlah, kayaknya ini bawaan orok), tapi aku lebih suka kalau orang menganggapku tidak sopan dan kasar dan macam-macam lagi, padahal sebenarnya aku bangga padamu dalam hati.

Untuk Sofia,
aku tidak memberi selamat karena kupikir mungkin kamu sudah punya cukup banyak orang yang memberimu selamat, entah tulus atau pura-pura atau berlapis rasa iri dengki, sementara yang kamu butuhkan setelah acaranya berlalu adalah orang yang mau mendengarkan semua kecemasan dan kelelahanmu (dan mengirim uang ke rekening ATM-mu untuk makan kalap yang biasa kau lakukan saat stress).

Untuk Sofia,
aku tidak memberimu selamat karena kupikir kita perlu bertemu secara pribadi kalau kamu punya sesuatu yang kepingin kamu tumpahkan setelah acara wisuda dan semua urusanmu selesai, yang mungkin tidak terasa enak kalau disampaikan lewat media.

Untuk Sofia,
aku baru saja maraton menonton Six Feet Under, season 2, sebelum menulis ini. Ada sebuah adegan dimana keluarga Fisher menghadiri upacara pelayatan seorang wanita yang seumur hidupnya hanya sendirian sehingga tidak ada seorangpun yang menghadirinya pelayatannya. Sang pendeta kenalan keluarga menyampaikan eulogi seperti ini, "mungkin semua bilang tidak baik bila kita hidup tanpa menyentuh kehidupan lain. Tetapi sangat egois menyimpulkan demikian. Semua kehidupan berarti, hanya kita belum tahu bagaimana." Kata-kata ini bagus sekali, jadi inginkan aku mengubahnya sedikit supaya lebih pas untukmu.

"Semua pencapaian itu berarti. Kita hanya belum tahu bagaimana."

(Setelah ini, si penulis muntah-muntah dan dilarikan ke rumah sakit karena terserang Mushy-mushy Words Syndrome).

Friday, January 27, 2012

Quoting Scrubs, Slapping Myself

Scrub is one of my favorite TV series of all time, and I gotta tell ya, some of the lines are definitely tailor-made for me! (What the heck am I talking about? Too much pride going on in my head). So, the lines below are some of my all time favorite as well. Real-slapping!



Dr. Cox: It's time. Sit down and listen up, Newbie. I suppose you want me to say you're great... That you've raised the bar for interns everywhere? 

J.D.: I'm cool with that! 

Dr. Cox: Well, I'm not going to say that. You're doing okay. Someday you might even be better than that. But right now, all I see is a guy who's so preoccupied with wondering what everyone else thinks about him, that he doesn't have anytime to think whether or not he believes in himself. Did you ever wonder why I told you to write your own evaluation? 

J.D.: I don't have a safe answer for that. I just figured that... you... 

Dr. Cox: Clam up, Newbie! I wanted you to think about yourself... and I mean *really* think!... What are you good at? What do you suck at? And write it down. Not so I could read it, or anyone else could read it. But so *you* could read it! You see in the end, Newbie, you don't have to answer to me, or to Kelso, or even to your patients, for God's sake! The only one you have to answer to, Newbie, is you! There, *you are* evaluated. Now get out of here, because you truly make me so damn mad I might just hurt myself! 

Radiohead Smeared My Brain Out! Hands-DOWN!




I love one of the comments under this video on You Tube, "When three guitarists make love, weird fishes are born." Faboulashhhh!

Sunday, April 03, 2011

“Apakah Perang Itu Baik atau Buruk?” – Kelas PSP-ku, Diskusi Panel dan Kakekku

Ketika saya akhirnya punya otoritas untuk memilih sendiri mata kuliah yang saya inginkan di semester tiga kuliah saya di HI UGM, salah satunya adalah Kelas Pengantar Studi Perdamaian.

Salah satu kegiatan kelas ini adalah, tentu saja, berdiskusi, atau mungkin dalam cerita ini berdebat – atau lebih tepatnya “diserang dari segala arah”. Hahaha!

Salah satu hal yang akan selalu saya ingat dari kelas itu adalah sebuah simulasi diskusi panel dengan pertanyaan utama “Apakah perang itu baik atau buruk?”. Saya memilih untuk berbicara tentang ‘perang itu baik’ (astaga, kalimat ini sepertinya mengesankan saya sebagai seorang yang gila kekerasan). Anyway, saya memilih untuk berbicara tentang itu karena saya ingin ‘keluar dari zona nyaman’. This is a class, and I want to explore the theme. Dan itu tidak lantas mewakili pendapat pribadi saya kan?
Atau iya? 


Hm.

Terlepas dari persoalan keluar dari zona apapun, apa yang saya sadari sekarang adalah, bahkan alam bawah sadar saya saat itu memerintahkan saya untuk memilih pilihan yang kedua. Dan ada alasan di balik itu.

Saya terlahir di sebuah keluarga yang rasanya bukan tipe keluarga atipikal di Indonesia – keluarga Jawa patriarkal. Kakek saya adalah ‘raja diraja’ keluarga kami. Dan beliau adalah seorang prajurit, atau tepatnya seorang purnawirawan ketika aku lahir. But, hey, once a soldier, always a soldier. That’s what they said. Dan saya percaya itu, karena buktinya ada di depan mata saya sendiri. Jiwanya, kedisiplinannya, keputusannya, caranya berbicara hingga makan, semuanya mencerminkan kepribadian seorang prajurit yang dilatih di barak militer. Rumah keluargaku yang pertama terletak tepat di belakang rumah kakekku, sehingga dapat dikatakan, setiap hari selama aku tumbuh, aku menghabiskan waktu bergantian dengan orang tuaku dan beliau. Ketika pagi badanku terbungkus seragam putih-biru TK, kakek sudah berdiri tegak, tinggi dan tegap di depan pintu (but somehow his ‘spartan’ presence at that time didn’t stop me from stroking his beard… J), tersenyum manis, dengan kaos tentara, celana panjang dan ikat pinggang ‘militeristik’, siap menggandengku untuk pergi ke sekolah. Dan itu berlanjut hingga badanku terbungkus seragam merah putih.

Selama aku tumbuh dengan dia pula, kakek selalu bercerita tentang masa-masa ia menjadi prajurit, masa-masa ‘berjuang’, baku tembak dengan pasukan Jepang atau pasukan RMS. Beliau bercerita soal acara mencukur rambut bersama-sama di barak, dansa lenso di waktu lengang atau bercengkerama dengan gadis-gadis yang tinggal di sekitar barak (ehem, ehem…).
Satu hal lain yang juga sering ia ulang-ulang dalam ceritanya adalah tentang mosi ‘apa yang bisa kita dapat, kita lakukan dan kita alami karena adanya perang’ bukan kebalikannya. He was so smitten by the patriotic image of soldier, dan somehow, semua itu terekam kuat di dalam memoriku dan ya, alam bawah sadarku. Kakekku bergabung dengan militer karena citra ‘heroisme’ yang menurutnya sangat kuat, dan dia ingin merasa berguna bagi negara yang ia anggap ‘masih tak cukup nyaman untuk anak-cucuku kelak’ dengan pergi bertempur – sebuah konsep yang sekarang lebih sering kita adopsi untuk perjuangan keras mencapai cita-cita.

Tak pernah aku berpikir waktu itu, bahwa kelak aku akan berada di kelas PSP, berdiskusi panel dengan teman-teman cerdas yang akan membombardirku dari segala arah karena sudah cukup punya nyali menyentuh area ‘perang itu boleh’ hanya karena alasan pragmatis seperti ‘tanpa perang kita tidak akan punya alat komunikasi canggih yang berkembang luas seperti sekarang’, ‘tanpa perang kita tak akan menjadi saksi sejarah terbentuknya MER-C’ atau ‘tanpa perang, karya Leo Tolstoy tak akan berjudul “War and Peace”’ (oke, yang ini sangat tak beralasan, sekali lagi, aku sedang mabuk obat). Hari itu salah satu wajah paling bodohku terpasang di mukaku, aku memerah, tetapi teramat bingung dengan kenyataan bahwa apa yang aku ingat dari cerita kakekku adalah kebalikannya. Aku tidak mampu berkata-kata, tetapi aku berusaha kuat di depan, karena aku bukan drama queen yang tiba-tiba saja menghambur keluar dari ruangan dan menangis di kamar mandi. Sebelum tulisan ini berlanjut, aku mengatakan bahwa tak ada niatku untuk menyudutkan kakekku atau menyamaratakan pengalaman dan pendapat pribadi mereka atau menyindir siapapun di kelas PSP pada hari itu (aku pun tak ingat lagi wajah-wajah mereka, ingatanku tak cukup fotografis untuk itu).

Karena itu, tulisan ini harus dibaca hingga selesai.

Hari itu pengalaman masa kecilku dibongkar paksa. Kuingat-ingat lagi apa yang dikatakan dan diceritakan kakekku dan apa yang berubah dari masa itu. Aku dibuat penasaran, sekaligus helpless karena faktanya adalah: kakekku sudah meninggal sebelum aku masuk kuliah. Kepergiannya begitu tiba-tiba, tanpa kata-kata terakhir, tanpa pelukan atau kesempatan untuk mengelus jenggotnya lagi. Aku tak punya kesempatan ‘mengonfirmasi’ cerita-ceritanya selama aku tumbuh besar bersamanya. Anyway, let’s not make this a sad story, shall we? Saya tidak sedang sedih, kok.

Pelajaran pertama yang aku praktekkan dari peristiwa hari itu adalah: tidak sombong. Ya, tidak sombong. Dari titik itu aku memutuskan untuk menurunkan egoku, karena ternyata ada hal-hal di luar dunia ‘cerita kakekku’ yang harus aku ketahui. Tanpa kerendahan hati untuk bertanya dan meminta ‘pertolongan’, aku tak akan paham apapun. Jika aku sombong pada hari itu, maka aku akan bersikeras dan bertahan, hingga mungkin saja aku akan tumbuh menjadi seseorang yang permisif terhadap perang. Pelajaran yang kedua adalah bahwa jika Anda belajar dengan segenap hati, maka Anda akan paham bahwa sesungguhnya Anda belajar tentang diri Anda sendiri, tentang hidup Anda, masa kecil Anda, pertanyaan-pertanyaan pribadi Anda, kekhawatiran Anda, bahkan trauma Anda. Di akhir pembelajaran, jika Anda cukup peka, Anda akan meluangkan waktu dengan orang yang paling dekat dengan Anda: diri Anda sendiri.

Beberapa mata kuliah yang kuambil di HI pun juga kemudian kugunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutanyakan pada kakekku. Salah satu kelas itu adalah kelas Militer dan Politik. Ada tujuan yang lebih besar dari sekadar mendapat nilai A. Aku ingin memahami kakekku, aku ingin mengerti beliau. Di kelas itu, tanpa sadar, aku menemukan berbagai penjelasan mengenai sikap kakekku, tingkah lakunya, keputusan-keputusannya, prinsip hidupnya, cara ia memperlakukan keluarga dan teman-teman sekaligus cara ia berpikir dan pandangannya tentang profesinya sebagai prajurit. Rasanya semua hal yang dulu bertebaran di mana-mana mulai bisa disatukan sedikit demi sedikit. Semua hal yang dulu tak terjelaskan, mulai menjadi lebih cerah. Dan aku bersyukur untuk itu. Aku diberi kesempatan untuk belajar.

Pelajaran yang ketiga: kadang-kadang hasil dari perenungan itu akan memberikan fakta yang baru. Aku menyadari, kakekku pun belajar. Ingatan-ingatan acakku ketika beliau masih hidup pun mulai kembali, tetapi dengan bingkai yang berbeda. Aku ingat wajah prihatinnya melihat berita perang, aku ingat bagaimana ia setiap hari membaca koran dan selalu berusaha tahu apa yang terjadi dengan dunia dan kemudian menyampaikan apa yang dia pelajari kepadaku, termasuk akibat perang dimana-mana. Aku ingat kakekku tak pernah mengizinkan anak-anaknya mendidik cucu-cucunya dengan kekerasan, baik fisik maupun verbal karena katanya “saya tidak membesarkan kalian dengan cara seperti itu”, aku ingat ia yang pernah berprofesi sebagai prajurit dan kata orang adalah profesi yang ‘me-manage violence’ merawat taman depan rumahnya dengan penuh kasih sayang, aku ingat ia selalu memberi makan kucing tetangga sebelah setiap ia selesai makan siang, aku ingat ia memandikan kami cucu-cucunya dengan sabar dan aku ingat ia mengatakan padaku “kamu mungkin gendut, tapi cucu mbah ini tetap cantik”.

Aku ingat, kakekku juga belajar. Bahkan ketika ia sudah tua. Ia pun belajar. Ia bukanlah seorang yang gila perang hanya karena beliau seorang prajurit. Kebanggaannya yang pernah memegang senjata tak membuatnya berhenti belajar dan kurasa ia akhirnya memahami, bahwa dunia akan lebih baik tanpa perang. Kurasa salah satu poin pembelajarannya adalah ketika ia merasakan sendiri ketakutan akan konflik Sambas, karena salah satu anak perempuannya bermukim di KalBar dan sempat mengungsi ke rumahnya, membawa berbagai kecemasan akan akibat konflik. Dan setelah semua pembelajaran, aku pun sering mengulangi lagi sesi diskusi panel itu di dalam otakku, dengan jawaban yang kalian semua pasti sudah tahu setelah membaca hingga di titik yang ini.

Well, kurasa wajah bodohku hari itu adalah sesuatu yang baik. Aku berkesimpulan: with me looking like a fool, comes a great chance to learn great things – about myself.

Jadi sebenarnya, apa sih yang ingin kukatakan di tulisan tak beraturan ini (perlu kuingatkan lagi bahwa aku sedang berada di bawah pengaruh obat demam?)

My grandpa’s gone for a reason. But there’s always a silver lining. Always.



Sofia Ariani
Yogyakarta, 9 November 2010




PS: Untuk Mbah Kakung-ku yang sangat, sangat, sangat aku sayangi: may you rest in peace, I miss you so very much.

*Ditulis di atas kasur, dengan suhu badan tinggi dan lendir di hidung (astaga, bilang saja ingus) yang belum mau berkompromi sejak minggu lalu, tetapi tidak cukup rela menghabiskan waktu hanya untuk tidur seperti nasehat dari dokter yang meresepkannya obat berefek “psychedelic”, sehingga pelafalan “bakso”, “nasi goreng” dan “kerupuk” oleh Barack Obama di siaran jamuan makan Istana Negara hari ini terdengar sama maha karyanya dengan “Kompor Mleduk”-nya Bang Benyamin.*