Saturday, January 28, 2012

Saya Memang Kampungan Bag. 1: Kondangan di Kampung



Ini tulisan yang tidak terlalu baru dan tidak terlalu lama. Tulisan ini saya sadur dan olah kembali dari tulisan Seno Gumira Ajidarma, "Kampungan yang Mesra", di dalam bukunya, "Affair: Obrolan Tentang Jakarta" (Penerbit Buku Baik, Cetakan I, 2004). Tidak, ini bukan plagiarisme. Saya hanya betul-betul terpesona dengan cara Bung Seno melukiskan riuh-rendah kampung di dalam tulisannya. Tidak berlebihan kalau saya bilang, tulisan-tulisan Seno Gumira Ajidarma membuat pembacanya lebih 'rendah hati'.

Terima kasih, Seno Gumira Ajidarma.
________________________________________________________________________

Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kota kelahiran saya ini sudah saya tinggalkan selama lima tahun dan hanya diselingi kepulangan-kepulangan singkat setiap akhir semester di kampus saya. Saya tinggalkan kota ini untuk mentransfer pertanyaan-pertanyaan soal banyak hal ke tempat-tempat lain. Dari Yogyakarta, Surabaya, Sumedang, Jakarta hingga Singapura dan Jepang.

Tapi kali ini saya betul-betul pulang, dan sudah sebulan saya berada di sini, membiasakan diri lagi dengan Balikpapan sekaligus di saat yang bersamaan diterpa oleh banyak sekali perubahan. Dari yang lama ke baru, dari yang blangsak ke yang berbudi, dari yang rendah ke yang mulia, dari yang lengang menjadi sumpek, dari yang bodoh menjadi cerdas, dari yang membosankan menjadi menarik, dan lain-lain.

Sewaktu keluar dari bandara, saya jadi ratu drama di kendaraan yang melaju menuju rumah. Bukan karena pesawat kepulangan saya ditunda hingga tujuh jam (Tuhan bersama orang-orang yang sabar, ingatlah itu Batavia Air #eh), tapi saya betul-betul menangis karena ternyata saya rindu pada semua hal yang ikut menjadi bagian dari pertumbuhan saya – dari anak balita yang kata mama punya naluri alamiah untuk selalu ingin tahu tentang apa saja ke anak usia tanggung yang kalau pakai seragam sekolah SD kancingnya selalu dikaitkan sampai atas, menahan jalan pernapasan saya. Dari remaja yang ingin coba-coba semua hal - ikut rohis dan pakai jilbab panjang ala Teh Ninih hingga bergabung di klub debat Bahasa Inggris SMA I Balikpapan yang anggotanya terkenal ‘beringas’- sampai menjadi anak usia kuliahan yang ngebet ingin meninggalkan Balikpapan dan melihat dunia luar.

Saya trenyuh. Saya ikut lebur bersama malam berhujan di Balikpapan hari itu. Saya betul-betul rindu itu semua. Hati saya ikut berdendang sambil mengikuti rinai rintik hujan di kaca mobil. Saya tersedu-sedu.... Ya, mungkin salah satu kelas favorit saya di kampus adalah Teori-Teori Sosialisme yang salah satu kegiatannya adalah mempelajari kemarahan Karl Marx akan kapitalisme hingga akhir hayatnya, tapi sesungguhnya saya ini ditempa oleh pejuang-pejuang dangdut melayu paling kesohor yang pernah dimiliki oleh negara ini yang tergabung dalam berbagai grup organ tunggal.

Betul, saya memang ‘kampungan’.

Ngomong-ngomong, saya ini berasal dari keluarga mungil. Anggotanya cuma empat: papa, mama, kakak dan saya sendiri. Kalau enam hamster, limabelas ikan hias, satu ekor penyu dan dua anak ayam warna kuning cerah bisa dihitung sebagai keluarga, ya berarti saya berasal dari keluarga besar. Suka-suka panjenengan-lah. Rumah kami juga mungil. Tak bersekat, dan dibanjiri tidak oleh berbagai aksesoris tipikal ibu-ibu bersasak tinggi di ibukota macam perlengkapan makan dari perak, koleksi pajangan kristal, lukisan reproduksi Basuki Abdullah atau foto besar sekeluarga dengan latar pemandangan menara Eiffel. Tanpa bermaksud pamer atau ingin menunjukkan pada orang bahwa kami keluarga intelek, rumah saya itu disesaki oleh beribu-ribu koleksi buku, film dan musik, sejak jaman ayah saya masih doyan bercelana cutbray dan berkemeja polkadot ketat hingga sekarang aktif sebagai pengurus masjid dan pakai celana di atas mata kaki. Eksistensi kami sekeluarga di kalangan tetangga dan handai taulan mungkin hanya dibuktikan dengan banyaknya pajangan cuma-cuma yang merupakan kenang-kenangan dari berbagai acara kondangan di kampung saya; nikahan, sunatan, khataman Al-Qur’an, nujuh bulanan hingga kenaikan pangkat. Dari potongan kuku, gelas kaca, kipas batik hingga kotak pensil. Kami memang keluarga eksis. Selalu ada nama kami di surat undangan orang-orang itu.

Ngomong-ngomong lagi, asal-usul saya itu memang adalah orang kampung. Saya tumbuh di sebuah daerah bernama kampung Klandasan, Balikpapan. Walaupun setelah itu keluarga kami pindah ke sebuah perumahan pinggiran kota yang orang-orangnya lebih sering menutup pintu rumahnya.Anyway, Jack Kerouac, penulis dan pionir Beat Generation yang nyentrik itu pernah bilang bahwa jalanan adalah tempat kita menemukan ‘wonders of the world’. Tapi di Indonesia, tempat itu buat saya justru lebih diwakili oleh kampung-kampung di tengah-tengah kota besar atau semi-besar.

Kampung, kampungan, orang kampungan. Ah, apa artinya itu semua. Saya juga tidak memiliki taraf kepahaman yang sudah mencapai moksa akan hal ini. Orang-orang elit, modern dan metropolis fasih mengucapkan kata ‘kampungan’, tapi itu tidak pernah mengacu pada dirinya sendiri. Pasti ke orang lain. Ya contohnya saya ini, orang kampungan. Sebaliknya, orang kampungan macam saya ini walaupun sudah kuliah dan punya gelar sarjana, tetap tidak fasih melafalkan kata ‘berkelas dan elegan’ seperti orang-orang modern itu. Yah, karena saya terbiasa tinggal di kampung, dimana saya lebih akrab dengan adegan demikian:

Sebuah acara pernikahan dengan latar belakang terpal yang dipasang melintang ke sana kemari tanpa gradasi warna yang teratur dan bisa membuat desainer interior sakit mata, dari biru ke jingga hingga merah terang; tenda untuk melindungi tamu undangan dari panas dan hujan yang dipasang dengan mengubah ruang publik menjadi ruang privat alias jalanan kampung; warna-warna terang menghiasi dekorasi singgasana pengantin dan dihias dengan buah-buahan tropis macam jeruk bali, pepaya, salak hingga pisang kepok; bapak-bapak berbaju batik yang berkeringat gombyos menikmati hidangan soto dan di kumisnya berlelehan kuah soto; kursi-kursi plastik yang di bawahnya teronggok tumpukan piring-piring bekas dipakai oleh tamu undangan –yang kalau tertendang niscaya tetap tak akan membuat orang kaget karena suaranya kalah nyaring dibandingkan bunyi penyanyi organ tunggal yang main sepanjang hari, wayang semalam suntuk atau layar tancap 24 jam non-stop berisi film-film India, serial Korea atau film horor soft porn Indonesia paling gres.

Masih mau yang lain?

Muda-mudi berlomba-lomba trendi, dengan pakaian dan aksesori terbaik. Ya mungkin bukan denimLevi’s tapi Lepis, bukan tas Gucci tapi Gussi, bukan dompet Prada tapi Plada, bukan jam Bvlgari tapiBerdikari – yang penting tetap mutakhir, walaupun mungkin jangan sampai dipelototin, karena palsunya akan kelihatan jelas. Pemudi berusaha berjalan dengan sepatu hak tinggi dan pemuda rambutnya bisa buat main perosotan karena dijajah oleh jel rambut bermerek Hasby, bukan Gatsby. Saya sendiri adalah salah satu dari generasi kampungan itu, yang menikmati dan mengamati gerak-gerik orang-orang ini. Walaupun layar tancap memutar film non-stop, biasanya kalau sudah adegan goyang atau baku hantam, barulah para pemuda menaruh perhatian, selebihnya mereka bercengkrama dengan pemudi. Saya suka melihat ibu-ibu yang akan segera berkelompok dan menginisiasi perbincangan mereka sendiri- paling sering berbisik-bisik tentang suami-suaminya. Biasanya setiap pembicaraan akan ditimpali dengan tawa berderai dan hujan reaksi "Husyhhhh, kok nggosipin suami!” Atau kadang mereka mengeluhkan harga-harga yang sepertinya tidak pernah turun atau perkembangan anak-anak mereka. Jangan jadi egois dengan menyebut ibu kita ‘rempong’. Ibu yang kita cintai dan selalu ada untuk kita itu juga butuh jeda dari kita-kita ini: anak-anak penuh tuntutan.

Saya? Saya biasaya duduk di belakang sambil makan sepiring berdua dengan ibu saya sambil memegangi gelas air minum dan sepiring kecil buah-buahan potong, karena tak ada meja untuk meletakkannya. Kami akan mandi keringat, dan biasanya setelah kondangan selesai akan sibuk mencari tisu makan yang sebenarnya tak layak untuk dialihfungsikan mejadi tisu fasial. Tetapi demi menghapus keringat yang jatuh tak bersahabat di hidung dan dahi kami, kami cukup legowo hanya menggosokkan tisu makan kasar ke wajah kami.

Apakah kami keluarga kampungan karena kami menikmati ribetnya kondangan macam itu?

Ya, mungkin. Tapi saya bangga jadi kampungan. Karena yang kampungan itu biasanya hatinya seluas samudera. Kalau keberisikan kondangan sampai memasuki jendela-jendela rumah, orang-orang ‘kampung’ ini dengan sukarela cuma mesem-mesem saja dan memaklumi keriuhan tersebut. Kondangan kampung itu ramai luar biasa, dan sebenarnya merupakan kegiatan yang cukup mulia: orang yang punya hajatan begitu bersyukur akan berkah yang ia terima, sehingga kegembiraan itu perlu dibagi ke sebanyak mungkin orang. Bukan hanya tamu undangan, bahkan mereka yang paling tak relevan sekalipun. Pedagang makanan akan ikut-ikutan mangkal di area kondangan, anak-anak kecil yang kakinya kotor habis bermain akan berusaha menyusup ke dalam dan menilap sepotong-dua potong ayam goreng, peminta-minta akan berjejer, bahkan kadang salesman keliling pun tak ragu menyumbangkan wajahnya, siapa tahu untung berpihak pada mereka hari itu. Jalan kampung yang milik publik itu dipinjamkan dengan sukarela oleh penduduk kampung untuk menempatkan jejeran kursi, agar jumlah tamu kondangan yang merangsek masuk tidak akan meruntuhkan rumah yang punya hajatan. Bukankah ini yang lebih dapat didefinisikan sebagai sebuah upacara sosial-religius yang tidak pandang bulu terhadap siapapun yang datang alih-alih standing party di hotel berbintang yang hanya diadakan untuk ‘kalangan terbatas’?

Layaknya kata filsuf kenamaan Prancis, Jean-Paul Sartre, bahwa orang lain adalah neraka, maka pastilah orang-orang kampungan macam saya ini adalah neraka buat kaum elit-modern-metropolis yang selalu lancar melafalkan kata privasi. Orang-orang kampung macam saya ini gaduh, tidak elegan dan tidak berkelas, tidak bisa melihat sikon dan lain sebagainya. Tapi buat saya, kondangan kampung justru melindungi saya dari orang-orang hasil cetakan sekolah kepribadian, dari kesepian di kota besar yang terlihat riuh, dari kepalsuan.

Kenapa? Karena yang kampungan itu seringkali lebih mesra, intim, erat, akrab dan selalu dihiasi oleh keramaian yang menghindarkan saya dari keterasingan.

Balikpapan, 25 September 2011

No comments:

Post a Comment