Monday, January 30, 2012

Hak Revolusioner: Buang Jenuh di Kuburan

Tulisan ini merupakan reinterpretasi kembali dari karya Emha Ainun Najib di dalam bukunya "Slilit Sang Kyai" (Penerbit Pustaka Utama Grafiti, 1988).
________________________________________________________________________

Ada beberapa orang yang saya kenal yang sejatinya mencerminkan jargon bahwa “untuk tetap waras, kegilaan adalah jawabannya”. Gila di sini tak selalu soal berjalan luntang-lantung di perempatan ibu kota, rambut awut-awutan atau apapun yang Anda pikir menjadi atribut dan penampakan khas dari seorang yang sedang sakit mental. Gila juga berarti mereka yang melawan arus besar, melawan persepsi dan keyakinan umum yang dipercaya oleh kebanyakan orang dan kemudian memilih untuk keluar dari area nyaman-aman-tenteram demi tercapainya identitas diri yang tidak ditunggangi oleh komando siapapun. Gila yang lain juga adalah tentang berupaya keras untuk membuat orang melihat kenyataan yang sebenarnya, walaupun orang yang dituju seringkali tak bisa memahami, dan ujung-ujungnya akan ditanggapi selorohan sengit, “Kamu gila ya?”.

Jenis yang terakhir ini yang ingin saya ceritakan. Saya tahu seseorang, yang kalau katanya orang Jawa ‘mbeling’-nya setengah mati. Tapi sebenarnya, beliau cuma seorang lelaki yang jujur dan mampu melihat apa yang kebanyakan orang tidak bisa lihat. Bukan, beliau bukan cenayang. Beliau tidak punya kemampuan indera keenam, tapi kalau kepekaan luar bisa dimasukkan ke dalam definisi indera keenam, maka beliau memilikinya. Tulisan saya kali ini merupakan alih bahasa (ke bahasa saya tentunya) dari tulisan milik beliau. Tapi tenang saja, saya bukan seorang plagiator. Karena kalau bisa, saya ingin jadi seorang ‘mbeling yang mandiri’ yang berguru pada ‘mbeling’ yang lain, tetapi sebagai hasil berguru, menghasilkan produk ‘mbeling’ saya sendiri.

Begini ceritanya.

Suatu hari, sekelompok pemuda yang mengklaim diri sebagai pasukan penjaga kemurnian agama menyambangi rumah seorang cendekiawan yang juga sering dilabeli sebagai alim ulama oleh orang lain yang merasa beliau punya cukup ilmu untuk masuk surga. Sekelompok pemuda ini mengutarakan keresahan mereka karena katanya semakin banyak orang di sekeliling mereka yang gemar berziarah ke kuburan, mencari wangsit berupa nomor buntut atau penerawangan peta harta karun. Mereka begitu marah. “Ini melawan ajaran agama! Kafir! Kenapa bapak diam saja?!”

Sang cendekia terkesiap, bukan karena kata-kata mereka. Tapi lebih karena aura arogan yang melingkupi wajah-wajah mereka, dan menghadirkan kesan tak bersahabat, walau katanya mereka semua itu keturunan pasangan manusia yang sama. Ia juga terkesiap karena sekelompok pemuda itu datang untuk meminta pertanggungjawaban darinya, seakan-akan apa yang ia pelajari ternyata tak mampu menahan orang meminta kepada tulang-belulang di tanah pekuburan dekat kediamannya.

“Apa Bapak tak ingin memberi komentar atau melakukan sesuatu untuk mencegah bentuk-bentuk kesyirikan, bidah, pelecehan agama dan kegilaan ini?! Saya sebagai seorang pemuda Muslim, yang dibesarkan dalam kaedah-kaedah Muslim merasa ini sebagai sesuatu yang tidak lagi bisa ditolerir! Kita harus memberantasnya, Pak! Saya siap berjihad!
Lalu sang Bapak berujar, “Begini lho Mas, saya ndak bilang kalau saya menyepelekan hal-hal yang masnya sebutkan tadi. Tapi maaf, ini ndak pada tempatnya. Panjenengan pernah makan es dawet dicampur sambal padang ijo? Ndak klop tho? Iya tho?”

Sang pemuda mengernyit. Ingin tertawa tapi gengsi. Tetapi yang pasti, belum paham. Makanya ia menyeloroh.

“Ini bukan perkara yang layaknya dibikin guyon Pak. Kanjeng Nabi Muhammad bisa guling-guling di kuburnya!”

“Lho, darimana tho panjenengan tahu Kanjeng Nabi guling-guling? Lha wong kuburnya cuma cukup buat berbaring horizontal, sedikit miring dengan tangan tersedekap. Tapi yo wis, begini lho Mas.. Apa itu syirik? Masnya wis paham tho? Mari melihat dari sisi lain. Orang kalau masuk kuburan itu tujuannya macam-macam, Mas. Lha kalo jari mas cuma ada sepuluh ndak akan cukup untuk menghitung. Ada yang mau aksi ala Lara Croft, jadi tomb raider, semata karena lapangan bermain biasanya sudah diubah jadi mal. Ada yang sembunyi dari tagihan lintah darat. Ada yang sembunyi dari istrinya yang terus merongrong untuk beli kulkas dua pintu. Ada yang sembunyi dari suaminya karena terus-terusan membujuk untuk diberi izin nikah kedua kalinya demi ‘menghindari zina’. Lha saya saja suka masuk kuburan kalau merasa jenuh. Jenuh diundang oleh komunitas ini, ormas itu, organisasi ini, kelompok pemuda itu. Saya jenuh dengan pertanyaan-pertanyaan khas abad ke-21 macam “memandang perempuan itu zina apa tidak?”, “film kalo memajukan tema pluralisme itu haram apa tidak?”, “caranya selamat dunia akhirat itu bagaimana?” atau kadang-kadang “Hugo Chavez itu kiri liberal, kiri tengah atau kiri-kanan?”

Sang bapak terus melaju.

“Tuhan mengizinkan kita untuk merasa jenuh, karena justru dari titik jenuh itu pembaharuan dimulai. Peranan kita sebagai manusia lebih sering terwujud ketika kita merasa jenuh akan sesuatu dan ingin menghasilkan hal baru. Jadi yang mau saya tanya: Apakah buang jenuh di kuburan itu syirik?”

“Lho ini kok semakin menjauh dari pertanyaan saya Pak?! Bukan itu maksud saya! Masak bapak ndak paham?”

“Saya hanya ingin bilang bahwa seseorang bisa dibilang syirik kalau sudah melibatkan hati dan sikap yang muncul dari jiwa yang berubah. Bukan semata karena kuburannya. Jangan mudah menuduh orang atau sembarang menyimpulkan gejala sosial kompleks seperti ini. Kalau ini Facebook, pasti saya sudah meng”like” Anda karena semangat Anda yang berkobar untuk memberantas aksi syirik. Tapi saya akan meng”unlike” Anda, karena Anda sudah sombong sama orang papa.”

“Lho Pak….?”

“Anda sebagai mahasiswa pasti sering membuat proposal tho? Untuk pengajuan dana, membuat pentas seni, menjalankan riset, dan sebagainya. Coba sekali-kali Anda mengajukan riset untuk meneliti siapa saja yang sebenarnya langganan pergi ke kuburan. Tapi jangan masukkan pejabat yang langganan ke Gunung Kawi. Saya berani jamin bahwa sebagian besar dari mereka adalah orang-orang dalam posisi mepet. Kalo Mas mungkin mepet juga, tapi setidaknya masih ada kiriman uang di rekening dari orang tua. Ditambah lagi, Anda termasuk di dalam sekelompok anak-anak bangsa yang masih diberi kesempatan dan peluang ekonomi untuk sekolah hingga perguruan tinggi, sehingga bisa mengelola hidup Anda secara rasional. InsyaAllah, kemungkinan Anda untuk menjadi pelanggan kuburan itu sangat kecil. Kalau menghadapi persoalan macam ketidakadilan ekonomi, Anda akan serta merta merancang diskusi publik, bukan berkunjung ke makam Kyai Bonokeling atau Sunan Begenjil. Kalaupun Anda tidak ingin menjadi bagian dari sistem kemapanan, Anda tetap tidak harus berurusan dengan kuburan. Anda bisa buat LSM, walau kadang Anda juga sering lupa tujuan Anda itu untuk “mereka” atau untuk “kita”. Pilihan non-kuburan lain yang paling mudah dilakukan mungkin adalah “menyantuni pengemis”, walau kadang Anda juga sering lupa bahwa Anda hanya sedang mengobati hati yang luka karena rasa kasihan. Anda punya harapan menang telak dari mereka-mereka yang putus sekolah, ndak sekolah atau DO.”

“Kenapa kok jadi menghakimi saya begini Pak?”

“Biar saya lanjutkan dulu. Yang mau saya katakan adalah: Hal-hal seperti ini ndak bisa dilakukan oleh mereka-mereka itu. Mereka ndak tahu caranya bikin proposal. Mereka lebih senang menyepi ke kuburan, minta harapan ke leluhur, hantu, dedemit, jurig atau apapun itu, karena satpol jauh lebih menyeramkan untuk mereka hadapi. Lebih baik kesurupan arwah Mbah Surip daripada digusur tiba-tiba sambil diseret-seret sepanjang jalan. Satu-satunya kesanggupan revolusioner yang masih tersisa bagi orang kecil yang melarat adalah menyimpun harapan di kuburan. Free of charge! Kok bangganya Anda merasa menjadi satpam iman, bahkan kadang membuat status Facebook yang gegap gemuruh gempita tentang jihad bahkan berani berkorban nyawa. Tapi sayangnya, Anda justru menghunuskan pedang Anda, menodongkan senjata Anda atau mengencangkan ketapel Anda ke tubuh-tubuh lemah-lunglai yang sudah berada di bawah ancaman badai api yang cuma sanggup menyepi ke kuburan. Anda sibuk mengawasi remaja putra dan putri yang berboncengan, menelpon teman sejawat dan memastikan mereka sudah shalat subuh, menggerebek kos yang dianggap mencurigakan, dan lain-lain. Apa ya tho Anda pernah mempertanyakan bagaimana sejarah sosial politik dari tikar atau sajadah kain beludru yang Anda pakai untuk shalat setiap hari? Anda ini tipe manusia yang baru bis abilang mencuri itu dosa, tapi belum bisa menelaah asal-muasal aksi pencurian itu. Ujung-ujungnya, Anda bikin kerajaan puritan sendiri dengan Anda sebagai raja sekaligus algojonya, dan menindas yang papa dengan senjata syariat. Kalau Anda mau baca lebih banyak, Kanjeng Nabi yang Anda sebut sedang berguling-guling itu memberikan definisi kafir dan syirik yang berbeda. Beliau mengajak orang untuk tidak menuhankan hal-hal yang tidak pantas dituhankan: pembodohan, pembudakan, ketidakpedulian, materi, ketidakadilan, kebutaan, ketidakseimbangan, dan lain-lain!”

“Lho Pak, ini semakin jauh dari tujuan saya…..”

“Karena itu jangan membangunkan singa yang sedang tidur! Terutama ketika Anda ndak tahu bagaimana cara menidurkannya kembali! Sudah saya mau ke kuburan dulu!”

Sofia Ariani
Yogyakarta, 22 April 2011

No comments:

Post a Comment