Ketika saya akhirnya punya otoritas untuk memilih sendiri mata kuliah yang saya inginkan di semester tiga kuliah saya di HI UGM, salah satunya adalah Kelas Pengantar Studi Perdamaian.
Salah satu kegiatan kelas ini adalah, tentu saja, berdiskusi, atau mungkin dalam cerita ini berdebat – atau lebih tepatnya “diserang dari segala arah”. Hahaha!
Salah satu hal yang akan selalu saya ingat dari kelas itu adalah sebuah simulasi diskusi panel dengan pertanyaan utama “Apakah perang itu baik atau buruk?”. Saya memilih untuk berbicara tentang ‘perang itu baik’ (astaga, kalimat ini sepertinya mengesankan saya sebagai seorang yang gila kekerasan). Anyway, saya memilih untuk berbicara tentang itu karena saya ingin ‘keluar dari zona nyaman’. This is a class, and I want to explore the theme. Dan itu tidak lantas mewakili pendapat pribadi saya kan?
Atau iya?
Hm.
Hm.
Terlepas dari persoalan keluar dari zona apapun, apa yang saya sadari sekarang adalah, bahkan alam bawah sadar saya saat itu memerintahkan saya untuk memilih pilihan yang kedua. Dan ada alasan di balik itu.
Saya terlahir di sebuah keluarga yang rasanya bukan tipe keluarga atipikal di Indonesia – keluarga Jawa patriarkal. Kakek saya adalah ‘raja diraja’ keluarga kami. Dan beliau adalah seorang prajurit, atau tepatnya seorang purnawirawan ketika aku lahir. But, hey, once a soldier, always a soldier. That’s what they said. Dan saya percaya itu, karena buktinya ada di depan mata saya sendiri. Jiwanya, kedisiplinannya, keputusannya, caranya berbicara hingga makan, semuanya mencerminkan kepribadian seorang prajurit yang dilatih di barak militer. Rumah keluargaku yang pertama terletak tepat di belakang rumah kakekku, sehingga dapat dikatakan, setiap hari selama aku tumbuh, aku menghabiskan waktu bergantian dengan orang tuaku dan beliau. Ketika pagi badanku terbungkus seragam putih-biru TK, kakek sudah berdiri tegak, tinggi dan tegap di depan pintu (but somehow his ‘spartan’ presence at that time didn’t stop me from stroking his beard… J), tersenyum manis, dengan kaos tentara, celana panjang dan ikat pinggang ‘militeristik’, siap menggandengku untuk pergi ke sekolah. Dan itu berlanjut hingga badanku terbungkus seragam merah putih.
Selama aku tumbuh dengan dia pula, kakek selalu bercerita tentang masa-masa ia menjadi prajurit, masa-masa ‘berjuang’, baku tembak dengan pasukan Jepang atau pasukan RMS. Beliau bercerita soal acara mencukur rambut bersama-sama di barak, dansa lenso di waktu lengang atau bercengkerama dengan gadis-gadis yang tinggal di sekitar barak (ehem, ehem…).
Satu hal lain yang juga sering ia ulang-ulang dalam ceritanya adalah tentang mosi ‘apa yang bisa kita dapat, kita lakukan dan kita alami karena adanya perang’ bukan kebalikannya. He was so smitten by the patriotic image of soldier, dan somehow, semua itu terekam kuat di dalam memoriku dan ya, alam bawah sadarku. Kakekku bergabung dengan militer karena citra ‘heroisme’ yang menurutnya sangat kuat, dan dia ingin merasa berguna bagi negara yang ia anggap ‘masih tak cukup nyaman untuk anak-cucuku kelak’ dengan pergi bertempur – sebuah konsep yang sekarang lebih sering kita adopsi untuk perjuangan keras mencapai cita-cita.
Tak pernah aku berpikir waktu itu, bahwa kelak aku akan berada di kelas PSP, berdiskusi panel dengan teman-teman cerdas yang akan membombardirku dari segala arah karena sudah cukup punya nyali menyentuh area ‘perang itu boleh’ hanya karena alasan pragmatis seperti ‘tanpa perang kita tidak akan punya alat komunikasi canggih yang berkembang luas seperti sekarang’, ‘tanpa perang kita tak akan menjadi saksi sejarah terbentuknya MER-C’ atau ‘tanpa perang, karya Leo Tolstoy tak akan berjudul “War and Peace”’ (oke, yang ini sangat tak beralasan, sekali lagi, aku sedang mabuk obat). Hari itu salah satu wajah paling bodohku terpasang di mukaku, aku memerah, tetapi teramat bingung dengan kenyataan bahwa apa yang aku ingat dari cerita kakekku adalah kebalikannya. Aku tidak mampu berkata-kata, tetapi aku berusaha kuat di depan, karena aku bukan drama queen yang tiba-tiba saja menghambur keluar dari ruangan dan menangis di kamar mandi. Sebelum tulisan ini berlanjut, aku mengatakan bahwa tak ada niatku untuk menyudutkan kakekku atau menyamaratakan pengalaman dan pendapat pribadi mereka atau menyindir siapapun di kelas PSP pada hari itu (aku pun tak ingat lagi wajah-wajah mereka, ingatanku tak cukup fotografis untuk itu).
Karena itu, tulisan ini harus dibaca hingga selesai.
Hari itu pengalaman masa kecilku dibongkar paksa. Kuingat-ingat lagi apa yang dikatakan dan diceritakan kakekku dan apa yang berubah dari masa itu. Aku dibuat penasaran, sekaligus helpless karena faktanya adalah: kakekku sudah meninggal sebelum aku masuk kuliah. Kepergiannya begitu tiba-tiba, tanpa kata-kata terakhir, tanpa pelukan atau kesempatan untuk mengelus jenggotnya lagi. Aku tak punya kesempatan ‘mengonfirmasi’ cerita-ceritanya selama aku tumbuh besar bersamanya. Anyway, let’s not make this a sad story, shall we? Saya tidak sedang sedih, kok.
Pelajaran pertama yang aku praktekkan dari peristiwa hari itu adalah: tidak sombong. Ya, tidak sombong. Dari titik itu aku memutuskan untuk menurunkan egoku, karena ternyata ada hal-hal di luar dunia ‘cerita kakekku’ yang harus aku ketahui. Tanpa kerendahan hati untuk bertanya dan meminta ‘pertolongan’, aku tak akan paham apapun. Jika aku sombong pada hari itu, maka aku akan bersikeras dan bertahan, hingga mungkin saja aku akan tumbuh menjadi seseorang yang permisif terhadap perang. Pelajaran yang kedua adalah bahwa jika Anda belajar dengan segenap hati, maka Anda akan paham bahwa sesungguhnya Anda belajar tentang diri Anda sendiri, tentang hidup Anda, masa kecil Anda, pertanyaan-pertanyaan pribadi Anda, kekhawatiran Anda, bahkan trauma Anda. Di akhir pembelajaran, jika Anda cukup peka, Anda akan meluangkan waktu dengan orang yang paling dekat dengan Anda: diri Anda sendiri.
Beberapa mata kuliah yang kuambil di HI pun juga kemudian kugunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutanyakan pada kakekku. Salah satu kelas itu adalah kelas Militer dan Politik. Ada tujuan yang lebih besar dari sekadar mendapat nilai A. Aku ingin memahami kakekku, aku ingin mengerti beliau. Di kelas itu, tanpa sadar, aku menemukan berbagai penjelasan mengenai sikap kakekku, tingkah lakunya, keputusan-keputusannya, prinsip hidupnya, cara ia memperlakukan keluarga dan teman-teman sekaligus cara ia berpikir dan pandangannya tentang profesinya sebagai prajurit. Rasanya semua hal yang dulu bertebaran di mana-mana mulai bisa disatukan sedikit demi sedikit. Semua hal yang dulu tak terjelaskan, mulai menjadi lebih cerah. Dan aku bersyukur untuk itu. Aku diberi kesempatan untuk belajar.
Pelajaran yang ketiga: kadang-kadang hasil dari perenungan itu akan memberikan fakta yang baru. Aku menyadari, kakekku pun belajar. Ingatan-ingatan acakku ketika beliau masih hidup pun mulai kembali, tetapi dengan bingkai yang berbeda. Aku ingat wajah prihatinnya melihat berita perang, aku ingat bagaimana ia setiap hari membaca koran dan selalu berusaha tahu apa yang terjadi dengan dunia dan kemudian menyampaikan apa yang dia pelajari kepadaku, termasuk akibat perang dimana-mana. Aku ingat kakekku tak pernah mengizinkan anak-anaknya mendidik cucu-cucunya dengan kekerasan, baik fisik maupun verbal karena katanya “saya tidak membesarkan kalian dengan cara seperti itu”, aku ingat ia yang pernah berprofesi sebagai prajurit dan kata orang adalah profesi yang ‘me-manage violence’ merawat taman depan rumahnya dengan penuh kasih sayang, aku ingat ia selalu memberi makan kucing tetangga sebelah setiap ia selesai makan siang, aku ingat ia memandikan kami cucu-cucunya dengan sabar dan aku ingat ia mengatakan padaku “kamu mungkin gendut, tapi cucu mbah ini tetap cantik”.
Aku ingat, kakekku juga belajar. Bahkan ketika ia sudah tua. Ia pun belajar. Ia bukanlah seorang yang gila perang hanya karena beliau seorang prajurit. Kebanggaannya yang pernah memegang senjata tak membuatnya berhenti belajar dan kurasa ia akhirnya memahami, bahwa dunia akan lebih baik tanpa perang. Kurasa salah satu poin pembelajarannya adalah ketika ia merasakan sendiri ketakutan akan konflik Sambas, karena salah satu anak perempuannya bermukim di KalBar dan sempat mengungsi ke rumahnya, membawa berbagai kecemasan akan akibat konflik. Dan setelah semua pembelajaran, aku pun sering mengulangi lagi sesi diskusi panel itu di dalam otakku, dengan jawaban yang kalian semua pasti sudah tahu setelah membaca hingga di titik yang ini.
Well, kurasa wajah bodohku hari itu adalah sesuatu yang baik. Aku berkesimpulan: with me looking like a fool, comes a great chance to learn great things – about myself.
Jadi sebenarnya, apa sih yang ingin kukatakan di tulisan tak beraturan ini (perlu kuingatkan lagi bahwa aku sedang berada di bawah pengaruh obat demam?)
My grandpa’s gone for a reason. But there’s always a silver lining. Always.
Sofia Ariani
Yogyakarta, 9 November 2010
PS: Untuk Mbah Kakung-ku yang sangat, sangat, sangat aku sayangi: may you rest in peace, I miss you so very much.
*Ditulis di atas kasur, dengan suhu badan tinggi dan lendir di hidung (astaga, bilang saja ingus) yang belum mau berkompromi sejak minggu lalu, tetapi tidak cukup rela menghabiskan waktu hanya untuk tidur seperti nasehat dari dokter yang meresepkannya obat berefek “psychedelic”, sehingga pelafalan “bakso”, “nasi goreng” dan “kerupuk” oleh Barack Obama di siaran jamuan makan Istana Negara hari ini terdengar sama maha karyanya dengan “Kompor Mleduk”-nya Bang Benyamin.*
No comments:
Post a Comment