Sunday, April 03, 2011

“Apakah Perang Itu Baik atau Buruk?” – Kelas PSP-ku, Diskusi Panel dan Kakekku

Ketika saya akhirnya punya otoritas untuk memilih sendiri mata kuliah yang saya inginkan di semester tiga kuliah saya di HI UGM, salah satunya adalah Kelas Pengantar Studi Perdamaian.

Salah satu kegiatan kelas ini adalah, tentu saja, berdiskusi, atau mungkin dalam cerita ini berdebat – atau lebih tepatnya “diserang dari segala arah”. Hahaha!

Salah satu hal yang akan selalu saya ingat dari kelas itu adalah sebuah simulasi diskusi panel dengan pertanyaan utama “Apakah perang itu baik atau buruk?”. Saya memilih untuk berbicara tentang ‘perang itu baik’ (astaga, kalimat ini sepertinya mengesankan saya sebagai seorang yang gila kekerasan). Anyway, saya memilih untuk berbicara tentang itu karena saya ingin ‘keluar dari zona nyaman’. This is a class, and I want to explore the theme. Dan itu tidak lantas mewakili pendapat pribadi saya kan?
Atau iya? 


Hm.

Terlepas dari persoalan keluar dari zona apapun, apa yang saya sadari sekarang adalah, bahkan alam bawah sadar saya saat itu memerintahkan saya untuk memilih pilihan yang kedua. Dan ada alasan di balik itu.

Saya terlahir di sebuah keluarga yang rasanya bukan tipe keluarga atipikal di Indonesia – keluarga Jawa patriarkal. Kakek saya adalah ‘raja diraja’ keluarga kami. Dan beliau adalah seorang prajurit, atau tepatnya seorang purnawirawan ketika aku lahir. But, hey, once a soldier, always a soldier. That’s what they said. Dan saya percaya itu, karena buktinya ada di depan mata saya sendiri. Jiwanya, kedisiplinannya, keputusannya, caranya berbicara hingga makan, semuanya mencerminkan kepribadian seorang prajurit yang dilatih di barak militer. Rumah keluargaku yang pertama terletak tepat di belakang rumah kakekku, sehingga dapat dikatakan, setiap hari selama aku tumbuh, aku menghabiskan waktu bergantian dengan orang tuaku dan beliau. Ketika pagi badanku terbungkus seragam putih-biru TK, kakek sudah berdiri tegak, tinggi dan tegap di depan pintu (but somehow his ‘spartan’ presence at that time didn’t stop me from stroking his beard… J), tersenyum manis, dengan kaos tentara, celana panjang dan ikat pinggang ‘militeristik’, siap menggandengku untuk pergi ke sekolah. Dan itu berlanjut hingga badanku terbungkus seragam merah putih.

Selama aku tumbuh dengan dia pula, kakek selalu bercerita tentang masa-masa ia menjadi prajurit, masa-masa ‘berjuang’, baku tembak dengan pasukan Jepang atau pasukan RMS. Beliau bercerita soal acara mencukur rambut bersama-sama di barak, dansa lenso di waktu lengang atau bercengkerama dengan gadis-gadis yang tinggal di sekitar barak (ehem, ehem…).
Satu hal lain yang juga sering ia ulang-ulang dalam ceritanya adalah tentang mosi ‘apa yang bisa kita dapat, kita lakukan dan kita alami karena adanya perang’ bukan kebalikannya. He was so smitten by the patriotic image of soldier, dan somehow, semua itu terekam kuat di dalam memoriku dan ya, alam bawah sadarku. Kakekku bergabung dengan militer karena citra ‘heroisme’ yang menurutnya sangat kuat, dan dia ingin merasa berguna bagi negara yang ia anggap ‘masih tak cukup nyaman untuk anak-cucuku kelak’ dengan pergi bertempur – sebuah konsep yang sekarang lebih sering kita adopsi untuk perjuangan keras mencapai cita-cita.

Tak pernah aku berpikir waktu itu, bahwa kelak aku akan berada di kelas PSP, berdiskusi panel dengan teman-teman cerdas yang akan membombardirku dari segala arah karena sudah cukup punya nyali menyentuh area ‘perang itu boleh’ hanya karena alasan pragmatis seperti ‘tanpa perang kita tidak akan punya alat komunikasi canggih yang berkembang luas seperti sekarang’, ‘tanpa perang kita tak akan menjadi saksi sejarah terbentuknya MER-C’ atau ‘tanpa perang, karya Leo Tolstoy tak akan berjudul “War and Peace”’ (oke, yang ini sangat tak beralasan, sekali lagi, aku sedang mabuk obat). Hari itu salah satu wajah paling bodohku terpasang di mukaku, aku memerah, tetapi teramat bingung dengan kenyataan bahwa apa yang aku ingat dari cerita kakekku adalah kebalikannya. Aku tidak mampu berkata-kata, tetapi aku berusaha kuat di depan, karena aku bukan drama queen yang tiba-tiba saja menghambur keluar dari ruangan dan menangis di kamar mandi. Sebelum tulisan ini berlanjut, aku mengatakan bahwa tak ada niatku untuk menyudutkan kakekku atau menyamaratakan pengalaman dan pendapat pribadi mereka atau menyindir siapapun di kelas PSP pada hari itu (aku pun tak ingat lagi wajah-wajah mereka, ingatanku tak cukup fotografis untuk itu).

Karena itu, tulisan ini harus dibaca hingga selesai.

Hari itu pengalaman masa kecilku dibongkar paksa. Kuingat-ingat lagi apa yang dikatakan dan diceritakan kakekku dan apa yang berubah dari masa itu. Aku dibuat penasaran, sekaligus helpless karena faktanya adalah: kakekku sudah meninggal sebelum aku masuk kuliah. Kepergiannya begitu tiba-tiba, tanpa kata-kata terakhir, tanpa pelukan atau kesempatan untuk mengelus jenggotnya lagi. Aku tak punya kesempatan ‘mengonfirmasi’ cerita-ceritanya selama aku tumbuh besar bersamanya. Anyway, let’s not make this a sad story, shall we? Saya tidak sedang sedih, kok.

Pelajaran pertama yang aku praktekkan dari peristiwa hari itu adalah: tidak sombong. Ya, tidak sombong. Dari titik itu aku memutuskan untuk menurunkan egoku, karena ternyata ada hal-hal di luar dunia ‘cerita kakekku’ yang harus aku ketahui. Tanpa kerendahan hati untuk bertanya dan meminta ‘pertolongan’, aku tak akan paham apapun. Jika aku sombong pada hari itu, maka aku akan bersikeras dan bertahan, hingga mungkin saja aku akan tumbuh menjadi seseorang yang permisif terhadap perang. Pelajaran yang kedua adalah bahwa jika Anda belajar dengan segenap hati, maka Anda akan paham bahwa sesungguhnya Anda belajar tentang diri Anda sendiri, tentang hidup Anda, masa kecil Anda, pertanyaan-pertanyaan pribadi Anda, kekhawatiran Anda, bahkan trauma Anda. Di akhir pembelajaran, jika Anda cukup peka, Anda akan meluangkan waktu dengan orang yang paling dekat dengan Anda: diri Anda sendiri.

Beberapa mata kuliah yang kuambil di HI pun juga kemudian kugunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutanyakan pada kakekku. Salah satu kelas itu adalah kelas Militer dan Politik. Ada tujuan yang lebih besar dari sekadar mendapat nilai A. Aku ingin memahami kakekku, aku ingin mengerti beliau. Di kelas itu, tanpa sadar, aku menemukan berbagai penjelasan mengenai sikap kakekku, tingkah lakunya, keputusan-keputusannya, prinsip hidupnya, cara ia memperlakukan keluarga dan teman-teman sekaligus cara ia berpikir dan pandangannya tentang profesinya sebagai prajurit. Rasanya semua hal yang dulu bertebaran di mana-mana mulai bisa disatukan sedikit demi sedikit. Semua hal yang dulu tak terjelaskan, mulai menjadi lebih cerah. Dan aku bersyukur untuk itu. Aku diberi kesempatan untuk belajar.

Pelajaran yang ketiga: kadang-kadang hasil dari perenungan itu akan memberikan fakta yang baru. Aku menyadari, kakekku pun belajar. Ingatan-ingatan acakku ketika beliau masih hidup pun mulai kembali, tetapi dengan bingkai yang berbeda. Aku ingat wajah prihatinnya melihat berita perang, aku ingat bagaimana ia setiap hari membaca koran dan selalu berusaha tahu apa yang terjadi dengan dunia dan kemudian menyampaikan apa yang dia pelajari kepadaku, termasuk akibat perang dimana-mana. Aku ingat kakekku tak pernah mengizinkan anak-anaknya mendidik cucu-cucunya dengan kekerasan, baik fisik maupun verbal karena katanya “saya tidak membesarkan kalian dengan cara seperti itu”, aku ingat ia yang pernah berprofesi sebagai prajurit dan kata orang adalah profesi yang ‘me-manage violence’ merawat taman depan rumahnya dengan penuh kasih sayang, aku ingat ia selalu memberi makan kucing tetangga sebelah setiap ia selesai makan siang, aku ingat ia memandikan kami cucu-cucunya dengan sabar dan aku ingat ia mengatakan padaku “kamu mungkin gendut, tapi cucu mbah ini tetap cantik”.

Aku ingat, kakekku juga belajar. Bahkan ketika ia sudah tua. Ia pun belajar. Ia bukanlah seorang yang gila perang hanya karena beliau seorang prajurit. Kebanggaannya yang pernah memegang senjata tak membuatnya berhenti belajar dan kurasa ia akhirnya memahami, bahwa dunia akan lebih baik tanpa perang. Kurasa salah satu poin pembelajarannya adalah ketika ia merasakan sendiri ketakutan akan konflik Sambas, karena salah satu anak perempuannya bermukim di KalBar dan sempat mengungsi ke rumahnya, membawa berbagai kecemasan akan akibat konflik. Dan setelah semua pembelajaran, aku pun sering mengulangi lagi sesi diskusi panel itu di dalam otakku, dengan jawaban yang kalian semua pasti sudah tahu setelah membaca hingga di titik yang ini.

Well, kurasa wajah bodohku hari itu adalah sesuatu yang baik. Aku berkesimpulan: with me looking like a fool, comes a great chance to learn great things – about myself.

Jadi sebenarnya, apa sih yang ingin kukatakan di tulisan tak beraturan ini (perlu kuingatkan lagi bahwa aku sedang berada di bawah pengaruh obat demam?)

My grandpa’s gone for a reason. But there’s always a silver lining. Always.



Sofia Ariani
Yogyakarta, 9 November 2010




PS: Untuk Mbah Kakung-ku yang sangat, sangat, sangat aku sayangi: may you rest in peace, I miss you so very much.

*Ditulis di atas kasur, dengan suhu badan tinggi dan lendir di hidung (astaga, bilang saja ingus) yang belum mau berkompromi sejak minggu lalu, tetapi tidak cukup rela menghabiskan waktu hanya untuk tidur seperti nasehat dari dokter yang meresepkannya obat berefek “psychedelic”, sehingga pelafalan “bakso”, “nasi goreng” dan “kerupuk” oleh Barack Obama di siaran jamuan makan Istana Negara hari ini terdengar sama maha karyanya dengan “Kompor Mleduk”-nya Bang Benyamin.*

Saturday, January 15, 2011

Kiai, Pendeta, Pastur dan Supir Bis serta Agama yang "Mungkin"


Beberapa waktu lalu, ketika sekelompok cendekiawan, seniman serta tokoh masyarakat dan agama memperingati setahun meninggalnya Gus Dur, Frans Magnis Suseno memberikan testimoninya - tepat setelah Mohamad Sobary menyampaikan monolog dengan diiringi dua orang seniman teater yang ‘memanggungkan’ kekhawatiran dan pertanyaan soal apakah Indonesia akan menemukan seseorang seperti Gus Dur lagi atau tidak. Di akhir testimoni, Frans menyampaikan sebuah lelucon yang pernah dilontarkan Gus Dur, walaupun menurutnya sudah banyak orang yang tahu tentang lelucon tersebut. Ini tentang seorang kiai, pastur, pendeta dan seorang “supir bis”. Dan, mari kita tak usah menerka-nerka sang supir bis ini terafiliasi dengan agama atau keyakinan apa.

Suatu waktu, setelah sebuah bencana membuat keempatnya meninggal di tempat yang berlainan di muka bumi, mereka saling bertemu dan memutuskan untuk bersama-sama menunggu keputusan Tuhan – keputusan tentang apakah mereka akan masuk surga, neraka, atau ‘mengawang-awang’ di tengah-tengahnya. Sambil bergerombol, sang kiai, pendeta dan pastur bertanya-tanya sendiri mengapa mereka harus mengantri sedemikian lama untuk menanti putusan Tuhan. Mereka mulai menimbang-nimbang apa yang sudah dan belum mereka lakukan sekaligus berspekulasi tentang berbagai kekurangan dalam melaksanakan ‘ibadah’ atau ‘amal’. Apakah Ekaristi-ku tak cukup khusyuk? Apakah aku tak cukup banyak berziarah ke makam-makam para Wali Songo? Apakah aku tak didoakan oleh para jemaatku? Atau aku tak cukup sempurna dalam melantunkan Doa Bapa Kami? Bukankah setiap orang selalu berebut untuk mencium tanganku? Dan bukankah sudah tak terhitung lagi berapa banyak orang yang melakukan pengakuan dosa di dalam bilik gerejaku?

Dan, gerombolan ‘alim-ulama’ ini semakin menegang ketika melihat seorang supir bus yang baru datang, tanpa tedeng aling-aling dipersilakan dengan khidmat untuk segera masuk ke surga. Mereka pun protes, dan bertanya kepada Tuhan. Apa jawaban Tuhan? “Tak ada yang berdoa di rumah ibadah kalian. Tapi lihatlah sang supir, ketika ia mulai mengendarai bisnya, banyak penumpang mulai berdoa – dengan sesungguh-sungguhnya.” Semua orang tertawa dan saya tersenyum simpul. Mungkin karena fakta bahwa sebagai pengguna dan penggemar bis Jogja yang loyal, saya tahu bagaimana rasanya adrenalin mengalir kencang di dalam darah ketika bis mulai melaju. Menegangkan, mengasyikkan, mengkhawatirkan, menantang dan justru memberi waktu untuk berpikir secara rasional. Harus saya beri tahu bahwa hampir 75% ide untuk tulisan, makalah, bahkan hingga skripsi yang sedang saya kerjakan sekarang ‘berjatuhan’ dari langit-langit bis Jogja yang hitam kusam terbungkus kerak-kerak polusi yang keluar dari knalpotnya sendiri.

 Tetapi, tulisan ini bukan tentang sudah berapa banyak bis yang saya tumpangi di Jogja atau berapa banyak supir bis yang saya kencani - yang mana tidak ada sama sekali. Bukan juga saya sedang menyarankan Anda untuk segera serius menekuni jejak karir sebagai supir bis, tetapi soal kenapa Gus Dur menggunakan supir bis ‘ugal-ugalan’ sebagai prototipe penghuni surga utama di dalam leluconnya – atau siapapun yang pertama kali membuat lelucon tersebut. Kalau boleh saya melanjutkan kata-kata Tuhan, maka mungkin akan menjadi seperti ini: “Jemaat kalian semakin sedikit, dan kalaupun banyak, mereka lebih sering datang untuk sebuah rutinitas yang dihubung-hubungkan dengan tradisi, norma, kebiasaan, bahkan prestise dan citra di depan orang lain. Ajaran-Ku hanya baju kalian, tapi tidak menelusup ke jantungmu, paru-parumu atau ikut beredar di dalam pembuluh darah bersama sari makanan atau udara bersih.”

Apakah memang demikian? Aku rasa ya. Kita terlalu mengada-adakan yang tidak ada. Ketika majelis taklim konsumsinya harus ini, ketika berziarah, ‘sedekah’nya harus ini dan itu, sepulang naik haji hukumnya fardhu ‘ain untuk membawa kacang-kacangan Arab, seperangkat sisha, atau dua galon air zam-zam, atau ketika seseorang mencuri maka serta-merta tangannya harus dipotong. Dan soal potong-memotong ini, yang sering tidak diketahui orang, bahkan masih ada tahapan-tahapan panjang yang harus dilalui seorang cendekiawan untuk memahami konteks dari aktifitas mencuri itu. Apa yang dicuri, dimana mencuri, dari siapa mencuri, berapa kali mencuri dan kenapa mencuri. Selalu ada latar belakang dari setiap keputusan manusia, dan tak benar rasanya jika kita membiarkan diri mencari keadilan dari orang-orang yang tidak, belum atau tidak mau paham tentang keadaan sang pencuri. Kalau Anda mersa bingung, bayangkan saja ungkapan ‘asas praduga tak bersalah’. Kalau masih bingung juga, ada baiknya Anda mampir ke kedai es dawet.

Beda kasusnya dengan sang supir bis. Sebagai seorang manusia yang sering dianggap ‘biasa’ dan ‘kurang krusial’ dalam piramida manusia terhormat, sang supir mampu mengondisikan penumpangnya dalam keadaan kepasrahan, setelah semua usaha telah dilakukan dan mampu membuat mereka melihat keyakinan atau agama yang mereka anut sebagai suatu hal yang ‘mungkin’ dan sebenarnya tidak kompleks atau terlalu menuntut. Contohnya saja saya. Sebelum seminar proposal skripsi, saya belajar keras untuk mempersiapkan diri. Di dalam bis dengan metode mengendarai ‘walau ugal-ugalan, yang penting sampai’ itu, saya memasrahkan diri dan mulai merangkai kalimat-kalimat yang kurang lebihnya seperti ini: “Tuhan, aku datang siang ini kepada-Mu. Berikanlah aku keselamatan dalam perjalanan ini, agar aku dapat tiba di kampus tanpa kurang suatu apa dan mampu memberikan yang terbaik untuk seminar proposal skripsiku. Semoga dari hasil penelitian skripsi ini, aku mampu belajar lebih tentang pengungsi dan memahami situasi mereka untuk kemudian bekerja bagi mereka suatu waktu nanti.”

Mendadak, di dalam bis itu, dimana kita dihadapkan pada kemungkinan kecelakaan atau rasa takut berlebihan ketika sang supir terlihat kurang waspada, kita mulai mengingat lagi harapan-harapan  di dalam otak kita dan meyampaikan betapa pentingnya harapan itu kepada Dzat apapun yang kita percaya mengendalikan hidup kita. Tetapi, di saat yang bersamaan, kita juga mulai merancang rencana-rencana penting dan mengapa kita ingin melakukannya serta berharap kita masih diberi kesempatan untuk melakukannya. Cerita di atas bis lelucon Gus Dur inilah yang berperan sebagai cerminan sederhana dari apa yang saya sebut sebagai “agama yang memungkinkan”. Mungkin bagi kita untuk memahaminya, mungkin bagi kita untuk melaksanakannya, mungkin bagi kita untuk meneladaninya, mungkin bagi kita untuk berproses bersamanya dan mungkin bagi kita untuk berbagi pengalaman tentangnya tanpa harus menggurui.

Saya jadi teringat tentang seorang pemuda muslim bernama Kouresh Poursalehi, seorang  warga negara Amerika Serikat keturunan Iran yang begitu terpengaruh dengan konsep perlawanan terhadap kemapanan di dalam kultur punk, yang bersama temannya kemudian menggabungkan musik punk dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bercerita tentang kesetaraan dan keadilan. Orang-orang di sekelilingnya banyak yang mulai ‘kebakaran jenggot’ dan mengecam hal ini. Tetapi, apa kata Kouresh? “Saya hanya ingin membuat Islam mungkin bagi saya dan teman-teman saya”.
Sofia Ariani
Yogyakarta, Jum’at, 14 Januari 2011