Saturday, May 08, 2010

Hoshu Honryu and Whaling in Japan


Ketika menyebut Jepang dan aktivitas perpausan, berbagai hal akan muncul di dalam benak setiap individu. Tetapi, sebagian besar hal tersebut akan mengerucut pada betapa dalam kasus ini, Jepang menunjukkan resistensi yang berbeda dengan ketika ia dihadapkan pada kasus atau isu ekonomi-politik yang lain. Jepang bisa jadi adalah salah satu pengikut kiblat norma internasional dari negara-negara besar yang paling taat, tetapi, dalam hal perpausan, Jepang justru membuat semua ahli konsep norma dan teori rezim dalam studi hubungan internasional gagal dalam mengaplikasikan pengetahuannya, terutama di level sistemik.
Tulisan ini akan memasukkan penjelasan tentang apa itu norma dan teori rezim, lalu kemudian menelaah mengapa dan bagaimana ternyata keduanya tidak applicable untuk menjelaskan posisi Jepang. Ini akan menjadi landasan rasional dari mengapa tulisan ini justru memilih untuk menggunakan bahasan tentang tendensi budaya konservatif dalam melihat studi kasus aktivitas industri perpausan di Jepang. Struktur kultural dan politik domestik diharapkan akan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang mengapa Jepang bersikukuh untuk tetap pada pendiriannya dan tidak kemudian berpihak pada norma internasional anti-perpausan.




Tentang Budaya Konservatif (Hoshu Honryu) di Jepang
Berbicara tentang budaya konservatif, ketika Jepang berfokus untuk membentuk sebuah platform identitas pasca-perang, ia kemudian juga berfokus tentang bagaimana kemudian identitas itu menjadi semakin kuat dengan cara menginstitusionalisasikannya serta mengintesifikasikan implementasinya. Identitas ini kemudian terpatri sebagai pengaruh yang sangat besar di dalam struktur politik dan budaya domestik di Jepang yaitu dalam bentuk hoshu honryu (conservative policy line). Gelombangnya dimulai di akhir dekade 1940-an atau awal dekade 1950-an. Budaya politik konservatif juga mengambil pengaruh sangat besar dari kebiasaan-kebiasaan dan tradisi yang sifatnya primordial sebagai salah satu akar yang penting. Salah satunya adalah apa yang menjadi studi kasus dalam tulisan ini yaitu praktek perpausan.


”Hoshu honryu”- sendiri mengacu pada sifat kebijakan ‘konservatif’ yang diadopsi dari kebijakan-kebijakan awal para pemimpin Jepang di pertengahan dekade 1940-an. Dua di antara tokoh pelopornya yang paling menonjol adalah Nobusuke Kishi dan Shigeru Yoshida. Salah satu pemicu awal perumusannya adalah adanya kekhawatiran Yoshida terhadap minimnya dukungan bagi ide-ide yang ditawarkan oleh LDP bagi era rekonstruksi Jepang. Semakin berkembangnya kebijakan konservatif, maka semakin besar pula pengakuan dan penerimaan yang diraih, apalagi terbukti dengan keadaan Jepang pasca-perang. Kebijakan konservatif memiliki penekanan pada beberapa hal, yaitu: formulasi dan implementasi kebijakan-kebijakan yang pro-rekonstruksi pasca perang dengan sifat kontinuitif; menekankan pada berbagai hal yang dapat dijadikan sumber insentif, baik materi, power atau link; memfokuskan rekanan yang dipastikan dapat mendukung kebijakan-kebijakan tersebut (sehingga, walaupun aktornya semakin banyak, tetapi wacananya telah dan tetap terpolakan – ”patterned pluralism".






Rivalitas dan kolaborasi juga berjalan beriringan dalam budaya politik konservatif Jepang – sebuah karakteristik unik yang dapat dikatakan hanya ada di negara ini; hierarki sekaligus meritokrasi menjadi poin pendukung dalam menghasilkan kebijakan; memegang kepercayaan pada peranan penting birokrasi dan teknokrat serta mementingkan identitas Jepang yang telah terpatri di dalam struktur kultural dan politik domestik sebagai driving force dalam menentukan arah kebijakan. Dalam konteks Jepang, memahami mengapa negara ini mengeluarkan kebijakan yang bersifat non-compliance terhadap norma anti-perpausan internasional adalah berarti harus memasukkan analisa tentang struktur politik dan kultural domestik Jepang, dimana kedua struktur tersebut sangat dipengaruhi oleh tendensi budaya hoshu honryu (conservative policy line).






Jepang di dalam IWC (International Whaling Comission)
Jepang bergabung di dalam keanggotaan IWC pada tahun 1951. Di titik ini, dapat dikatakan, keterlibatan Jepang adalah lebih karena peer pressure dari Amerika Serikat, sang hegemon dunia. Tetapi, rupanya Jepang cukup berani untuk tidak langsung memformalkan poin-poin anti-perpausan walaupun ia mengakui moratorium 1982 yang salah satu isinya adalah membatasi penangkapan ikan paus dan atau menghentikan aktivitas ini untuk waktu yang tidak ditentukan. Respon dari moratorium ini adalah justru sejak tahun 1994, Jepang memulai program “scientific whaling” di wilayah utara perairan Samudra Pasifik. Program ini dijalankan di bawah keberatan berbagai pihak, terutama negara anti-perpausan (terutama Prancis, Jerman, Inggris), NGO, dan aktivis lingkungan hidup di hampir seluruh dunia. Klaim para penentang ini adalah program Jepang di atas hanyalah sebuah dalih untuk membuka proyek perpausan komersil yang menurut mereka sudah menjadi obsesi Jepang.
Di tahun 2000, Amerika Serikat mengancam untuk memberikan sanksi perdagangan kepada Jepang karena program scientific whaling ini. Tetapi, msalah ini sepertinya terselesaikan dengan adanya pertemuan antara perwakilan Jepang dan Amerika Serikat serta negara-negara anggota IWC yang menghasilkan keputusan untuk memberikan kesempatan bagi Jepang dalam melaksanakan workshop dengan tujuan mempelajari efek dari praktek perpausan Jepang.






Penelaahan Difusi Norma Internasional Anti-Perpausan di Jepang dengan Konsep Norma serta Teori Rezim : Apakah Dapat Diaplikasikan sebagai Alat Analisa?
Pembahasan tentang norma dan teori rezim didasarkan pada sebagian besar pendapat yang menyebutkan bahwa dinamika posisi Jepang terhadap aktivitas perpausan dapat ditelaah dengan keduanya. Karena itu, penjelasan ini penting untuk melihat mengapa justru difusi norma perpausan internasional di Jepang tidak berjalan seperti yang diinginkan oleh negara-negara besar di dalam IWC (International Whaling Comission) dan sekaligus menjadi landasan yang cukup logis bagi tulisan ini untuk justru menelaah posisi Jepang melalui analisa tendensi budaya konservatif di dalam struktur politik dan kultural domestik Jepang.


Mengenai Norma
Apa itu norma? Menurut sebagian besar ahli hubungan internasional, norma berarti suatu standar perilaku yang didefinisikan di dalam bentuk hak dan kewajiban. Norma sendiri memiliki tingkat kekuatan yang bervariasi. Beberapa norma memiliki cakupan internasional, yang lain di dalam suatu kawasan, ranah domestik, hingga lokal. Di dalam suatu area dengan isu tertentu, berbagai norma bisa jadi bertentangan satu sama lain.
Munculnya suatu norma dalam lingkup internasional sangat bergantung pada besarnya peran negara dalam mempromosikan norma tersebut, terutama ketika negara itu memiliki kekuatan diplomasi yang besar untuk mendorong negara lain menerima norma yang sama. Tetapi mengapa beberapa negara menafikan norma-norma yang melekat pada suatu rezim dan institusi internasional, bahkan ketika jika mereka melakukan hal tersebut mereka akan dikecam oleh masyarakat internasional serta tidak jugs meraih keuntungan material yang susbtansial?


Banyak pengamat melihat, fakta bahwa Jepang menolak untuk menyesuaikan diri dengan norma anti-perpausan internasional sebagai kasus yang mengherankan, terutama dengan melihat bahwa Jepang juga tidak diuntungkan secara politis maupun ekonomi dari praktek ini. Industri perpausan berkontribusi tidak lebih banyak dari industri tekstil atau bahkan industri gaya hidup bagi Jepang sendiri. Di saat yang bersamaan, kebijakan perpausan Jepang membuat negara ini banyak dikecam oleh negara lain yang pro terhadap norma anti-perpausan internasional. Ini jelas membahayakan posisi dan citra Jepang di mata dunia. Mengapa kemudian Jepang tidak ‘menyerah’ dan bergabung bersama negara-negara lain di dalam komunitas internasional yang merangkul norma anti penangkapan paus?


Dari pertanyaan di atas, maka kita perlu melanjutkan pada analisa tentang norma. Kebanyakan analisa tentang norma internasional hanya berfokus pada difusi norma di level yang sistemik. Studi ini juga kemudian menghasilkan suatu analisa dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip neo-realisme, institusionalisme neo-liberal dan konstruktivisme yang kemudian membawa kepada dua hal. Yang pertama, ia lebih banyak berfokus kepada proses difusi norma yang berjalan dengan baik, sementara di satu sisi melupakan fakta bahwa ada kegagalan dalam proses tersebut. Yang kedua adalah gagalnya studi semacam ini di dalam menganalisa hubungan antara norma internasional dan struktur domestik di dalam proses difusi norma.
Dengan menafikan keberadaan hubungan ini, studi di level sistemik tidak akan dapat menjelaskan bagaimana suatu norma internasional dapat diterima di setiap negara yang memiliki struktur politik dan kultural domestik yang bervariasi. Dalam konteks Jepang, memahami mengapa negara ini mengeluarkan kebijakan yang bersifat non-compliance terhadap norma anti-perpausan internasional adalah berarti harus memulai dengan menganalisa struktur politik dan kultural domestik Jepang, dimana kedua struktur tersebut sangat dipengaruhi oleh tendensi budaya hoshu honryu (conservative policy line).


Para ahli hubungan internasional juga kemudian memiliki pandangan yang beragam tentang difusi norma internasional di level sistemik. Ahli teori rezim menyatakan bahwa negara adalah aktor rasional yang lebih sering menyesuaikan diri dengan norma internasional berdasarkan kalkulasi cost-benefit. Sebaliknya, kaum konstruktivis menekankan peranan aktivis trannasional di dalam proses difusi norma dan peran proses sosialisasi serta peer pressure di level sistemik. Walaupun demikian, ahli teori rezim atau kaum konstruktivis tidak pernah benar-benar memberikan formula yang cukup untuk menjelaskan studi kasus mengapa Jepang menafikan norma anti-perpausan internasional.






Mengenai Teori Rezim
Teori rezim secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu neorealis dan institusionalisme neoliberalis. Kaum neorealis lebih banyak berkutat pada peran hegemon dalam menekankan norma-norma. Dari perspektif mereka, norma-norma internasional muncul dan menyebar ketika mereka dipromosikan oleh hegemon. Keberpihakan terhadap suatu norma akan terwujud karena aksi koersif dari hegemon tersebut; atau dapat juga dikatakan pihak hegemon memaksakan suatu norma internasional terhadap negara di bawah hegemoninya dengan menggunakan kekuatan sanksi militer dan ekonomi. Dengan begitu, keberpihakan terhadap norma sangat berhubungan dengan konsep keberlangsungan hidup dari ’negara-negara lemah’.


Ahli teori rezim melihat norma dari perspektif utilitarian yang menempatkan aktor sebagai pengikut logika konsekuensi. Dari perspektif ini, aktor negara adalah aktor yang menggunakan suatu isu atau hal dengan maksimal, demi meraih tujuan mereka berdasarkan kalkulasi cost-benefit, aktor tersebut akan menyesuaikan diri dengan norma-norma yang juga berkesesuaian dengan kepentingan dan tujuan mereka. Dengan kata lain, ahli teori rezim menekankan bahwa norma memiliki peranan instrumental yang mempengaruhi perilaku negara dan keberpihakan terhadap suatu norma, yang kemudian mencerminkan kepentingan dan perilaku rasional dari sebuah negara.


Di satu sisi, perspektif teori rezim tidak dapat digunakan dalam menjelaskan posisi Jepang, yang tidak didasarkan pada ancaman hegemon tertentu atau kalkulasi rasional dari keuntungan material. Di sisi yang lain, konsep kaum konstruktivis tentang jaringan aktivis transnasional tidak dapat diaplikasikan dalam kasus praktek perpausan di Jepang, karena jaringan semacam ini memiliki pengaruh yang kecil terhadap kebijakan Jepang tentang praktek perpausan. Ditambah lagi, pendapat kaum konstruktivis tentang evolusi norma dan keberpihakan terhadap suatu norma melalui proses sosialisasi tidak dapat digunakan, karena Jepang sendiri tidak menghiraukan tekanan internasional mengenai norma anti-perpausan.
Analisa kaum neo-realis tentang norma tidak dapat digunakan jika menganalisa studi kasus Jepang di dalam tulisan ini. Walaupun rezim anti-perpausan internasional (terutama International Whaling Comission) dipimpin oleh Amerika Serikat yang notabene adalah kekuatan hegemon, negara ini tetap tidak dapat membuat Jepang menaati norma untuk mengakhiri praktek perpausan mereka, terutama program yang oleh Jepang disebut sebagai ’scientific whaling’, sejak tahun 1987. Walaupun norma anti-perpausan telah semakin dipertegas pada dekade tahun 1970-an dan 1980-an, terutama karena tekanan Amerika Serikat, posisi Jepang terhadap praktek perpausan tidak pernah berubah sejak awal.
Memang benar bahwa Jepang menerima moratorium IWC tentang praktek perpausan komersil pada era tahun 1980-an terutama karena ancaman sanksi dari Amerika Serikat, Jepang kemudian dengan cepat menggunakan dalih ’scientific whaling’ untuk mengalihkan praktek perpausan mereka dari komersil menjadi ilmiah, tampaknya seperti mengabaikan Amerika Serikat, yang itu berarti dari kacamata kaum neo-realis, menantang otoritas hegemon. Ditambah lagi, pendapat kaum neo-realis tentang materialisme tidak terbukti pada kasus Jepang dan praktek perpausannya. Walaupun Jepang menerima kebijakan moratorium berdasarkan kekhawatiran yang bersifat materialistik (ketakutan terhadap sanksi ekonomi Amerika Serikat), pengalihan praktek perpausan dari komersil menjadi ilmiah justru membuka pintu menuju munculnya sanksi baru.






Kemudian, menurut kaum institusionalis neo-liberal, keberpihakan terhadap suatu norma akan terwujud jika tekanan dari hegemon sirna. Dari sudut pandang ini, keberpihakan terhadap suatu norma bersifat sukarela. Ketika kaum neo-liberal menggunakan pandangan kaum neo-realis tentang negara sebagai aktor rasional yang berusaha untuk meraih kepentingan material di dunia yang anarkis, mereka menekankan bahwa rasionalisme dan anarki tidak lantas mengesampingkan kerja sama dan bahwa negara berpihak pada suatu norma internasional karena insentif material dalam jangka waktu panjang. Bagi kaum neo-liberal, norma kemudian akan mengurangi ketidakpastian, meminimalisasi transaction cost, dan memfasilitasi kerja sama antara negara-negara dengan kepentingan masing-masing. Kaum neo-liberal berpendapat bahwa negara mungkin saja berpihak pada suatu norma, walaupun ketika negara melakukan hal ini mereka akan kehilangan keuntungan material yang sifatnya jangka pendek. Ini karena mereka lebih mementingkan keuntungan material yang bersifat jangka panjang.
Ketika argumen-argumen di atas diaplikasikan pada studi kasus Jepang, kaum neo-liberal mungkin saja dapat membuat kita percaya bahwa Jepang berpihak kepada norma anti-perpausan dunia karena sebagai aktor rasional, Jepang memahami dan menginginkan keuntungan material jangka panjang dari kerja sama ini. Tetapi ini ternyata tidak benar. Alih-alih, negara ini tetap melanjutkan untuk menjalankan praktek perpausan, melawan kepentingan rasional Jepang itu sendiri dan mendatangkan ancaman sanksi ekonomi terhadapnya.


Analisa Mengenai Struktur Politik dan Budaya Domestik Jepang
Dari penjelasan tentang konsep norma dan teori rezim yang ternyata tidak dapat digunakan dalam menjelaskan posisi Jepang, tulisan ini beralih kepada analisa struktur kultural dan politik domestik Jepang sebagai alat analisa di bawah payung besar budaya konservatif Jepang.


Struktur Budaya Domestik Jepang
Publik dan pemimpin Jepang melihat kontroversi praktek perpausan sebagai suatu hal yang sangat bersifat kultural. Mereka percaya bahwa Jepang memiliki tradisi gyoshoku-bunka (kultur memakan paus) yang sangat bersifat distinct. Berdasarkan pada banyak ahli sejarah Jepang dan pejabat tinggi di negara ini, kultur whale-eating di Jepang dapat ditelususri jauh ke masa pra-historis. Berdasarkan penemuan di suatu situs purbakala di Jepang, sebuah klaim muncul yang menyatakan bahwa beberapa komunitas orang Jepang pertama kali memakan paus yang terdampar dan kemudian memulai praktek penangkapan ikan paus yang masih sangat primitif selama periode Jomon (10.000-300 SM). Para ahli dan pejabat ini juga berpendapat bahwa dengan diperkenalkannya alat jaring besar pada akhir abad ke-17 di Jepang, praktek perpausan komersil dimulai di daerah Taiji, dekat dengan Osaka dan kemudian menyebar ke wilayah selatan di Jepang pada abad ke-18 hingga ke wilayah utara pada abad ke-19.
Berdasarkan pandangan di atas, orang Jepang telah menggunakan paus dan praktek perpausan sedemikian rupa hingga menghasilkan sebuah kultur yang sangat terkait dengan sejarah pembentukan negara Jepang itu sendiri. Tidak seperti kaum Barat misalnya orang Amerika, Inggris, atau Belanda yang hanya menggunakan paus untuk mendapatkan daging dan minyaknya saja, orang Jepang adalah kaum yang memiliki kultur maksimal dengan menggunakan seluruh bagian tubuh paus untuk berbagai keperluan, baik yang bersifat pemenuhan kebutuhan sehari-hari, komersil atau bahkan ritual keagamaan.






Legitimasi gyoshoku-bunka di Jepang bersandar tidak hanya pada sistem kepercayaan orang Jepang terhadap kultur whale-eating sebagai tradisi yang sudah bertahan selama ribuan tahun, tetapi juga ide bahwa paus adalah ’ikan’ dan merupakan sumber protein. Berdasarkan pada ajaran Budha yang mendominasi kultur kepercayaan di Jepang, orang Jepang secara historis menganggap bahwa memakan daging ikan paus dan daging ikan adalah sesuatu yang sama-sama dapat diterima karena menurut mereka keduanya pada dasarnya adalah sama. Sementara memakan daging hewan darat tidak dianjurkan. Kepercayaan ini dibuktikan dengan adanya beberpa undang-undang yang dikeluarkan oleh pemimpin-pemimpin Jepang di masa lalu. Contohnya Kaisar Tenmu, seorang penganut Budha yang taat pada abad ke-6, melarang pembunuhan dan praktek memakan daging hewan darat. Rakyat hanya boleh memakan ikan kecil dan paus.
Setali tiga uang di abad ke-17, Tsuneyosi Tokugawa, shogun kelima di era Edo, mengeluarkan undang-undang yang tak jauh berbeda. Karena itu, banyak ahli dan pengamat di Jepang berpendapat bahwa kultur whale-eating adalah bagian yang penting dari sejarah dan budaya Jepang, berlawanan dengan kultur beef-eating, yang menurut mereka baru dimulai paling tidak 200 tahun yang lalu sebagai hasil westernisasi di Jepang. Karena persepsi bahwa paus adalah ikan dan bukan hewan mamalia, banyak orang Jepang yang tidak menerima pandangan orang Barat tentang hak hewan, terutama hak ikan paus sebagai hewan mamalia dan tidak berperan sebagai hewan livestock.


Struktur Politik Domestik Jepang
Proses pembuatan keputusan di level domestik tentang perpausan di Jepang sangat tersentralisasi pada kepemimpinan birokratis yang kuat. Pemimpin-pemimpin birokrasi adalah pasukan garda depan sektor perpausan di Jepang, dan ini menciptakan suatu halangan besar bagi proses difusi Jepang ke dalam norma internasional anti-perpausan. Proses pembuatan keputusan yang berhubungan dengan perpausan juga sangat terpolakan, walaupun aktor politik di Jepang sangat pluralis (hasil perkembangan dari budaya politik konservatif di Jepang; ’patterned pluralism’). Aktivisme transnasional atau organisasi msayarakat pun tidak memiliki peran yang besar dalam formulasi kebijakan tentang perpausan.
Di Jepang sendiri, praktek perpausan bukanlah subjek regulasi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Justru, dua badan kementerian yang memiliki posisi ministerial lebih tinggi dari Kementerian Lingkungan Hidup yaitu MAFF (Ministry of Agriculture, Forest and Fishery) serta MOFA (Ministry of Foreign Affair) yang memegang kendali atas isu ini; sebuah bukti kecenderungan budaya konservatif memang mewarnai politik Jepang, terutama tentang adanya hierarki ministerial yang salient. Walaupun demikian, dapat dikatakan MOFA adalah rekan junior MAFF, karena fungsi MOFA adalah sekadar mewakili Jepang di dalam badan IWC. Praktek perpausan di Jepang sendiri berada di bawah kontrol Undang-Undang Perikanan tahun 1949. MAFF, atau lebih spesifik lagi, Badan Perikanan yang berada di bawah pengawasan MAFF, menguasai semua hal yang berhubungan dengan praktek perpausan di Jepang.


Ada beberapa hal yang menjadi alasan pembuatan kebijakan MAFF yang tidak berpihak pada norma internasional anti-perpausan. Pertama, pejabat-pejabat di MAFF dan Badan Perikanan melihat moratorium IWC tahun 1992 tentang norma anti-perpausan dunia hanyalah sebuah kebijakan sementara yang hanya akan bertahan paling tidak hingga tahun 1990-an, ketika IWC benar-benar mewujudkan targetnya untuk melakukan penelitian ilmiah tentang kemungkinan praktek penangkapan paus yang lebih tertata. MAFF dan Dewan Perikanan, yang sangat dipengaruhi oleh budaya konservatif Jepang tentang menjadi pionir dalam berbagai hal yang berhubungan dengan kemakmuran Jepang, memutuskan untuk memulai sebuah program yang disebut sebagai ’scientific whaling’. Sektor ekonomi-politik Jepang yang sangat didominasi oleh kaum teknokrat sangat mempercayai bahwa ada basis ilmiah yang dapat digunakan untuk menjustifikasi praktek perpausan di Jepang.


Kedua, MAFF dan Dewan Perikanan berpendapat bahwa Jepang memiliki hak yang sah untuk melaksanakan program ’scientific whaling’ karena bahkan wacana seperti ini pernah muncul di dalam IWC sebagai alternatif bagi negara yang memiliki tradisi praktek perpausan seperti Jepang. Ketiga, karena praktek perpausan di Jepang berada di bawah yurisdiksi MAFF dan Dewan Perikanan, berakhirnya praktek tersebut akan berarti menurunnya kekuatan politik serta bujet bagi MAFF sendiri sebagai salah satu badan ministerial yang memiliki hierarki tinggi di Jepang. Kondisi rivalitas birokrasi di Jepang yang sangat kental jelas tidak memungkinkan MAFF secara sukarela melepaskan status yang ia miliki. Keempat, MAFF dan Dewan Perikanan berharap, dengan menjalankan program ’scientific whaling’ dan melakukan aksi resistensi terhadap norma perpausan internasional, ini justru akan memberi bukti bahwa Jepang bukanlah ’free rider’ dalam sektor ekonomi-politik internasional sekaligus memantapkan kemandirian Jepang dalam isu yang krusial bagi keberlangsungan negaranya. Harapan tentang kemungkinan industri perpausan komersil yang jauh lebih besar juga mendorong MAFF untuk justru ’melawan’ norma perpausan internasional.






Penutup
Dari pemaparan tulisan ini, sangat jelas bahwa ada beberapa hal yang perlu untuk digarisbawahi. Pertama, Jepang begitu bersikukuh untuk mempertahankan kebijakan perpausannya walaupun berada di bawah bayang-bayang kecaman. Kedua, kekukuhan itu ternyata tidak mampu dianalisa oleh konsep norma dan teori rezim, padahal berbagai literatur menggunakan kedua konsep ini untuk menjelaskan posisi Jepang. Ketiga, analisa terhadap struktur kultural dan domestik Jepang ternyata mampu menjelaskan menagapa Jepang tidak berpihak kepada norma anti-perpausan internasional. Keempat, dari analisa struktur domestik tersebut, sangat jelas terlihat adanya fakta bahwa tendensi budaya konservatif (hoshu honryu) sangat berpengaruh dalam sektor ekonomi-politik Jepang, terutama dalam studi kasus perpausan di Jepang.


Sofia Ariani
Nagoya, Jepang, Juli 2010


Referensi


Johnson, Chalmers. MITI and the Japanese Miracle. 1982. Charles E. Tuttle Co,.




Hirata, Keiko. Beached Whales: Examining Japan’s Rejection of an International Norm. (2004). Social Science Japan Journal. Vol. 7, No.2.


Muramatsu, Michio & Krauss, Ellis; The Conservative Policy Lines and the Development of Patterned Pluralism in The Political Economy of Japan Vol. I: The Domestic Transformation (1988); Yamamura Kozo & Yasuba Yasukichi; Stanford University Press.


Nakane, Chie. Japanese Society. (1973). Pelican Books.


Koichi, Kishimoto. Politics in Modern Japan: Development and Organization (Third Edition). (1988). Japan Echo, Inc.


Stoett, Peter J. The International Politics of Whaling. (1997). University of British Columbia Press.


Legro, Jeffrey W. Which Norms Matter? Revisiting the “Failure” of Internationalism. (1997). International Organization, Vol. 51, No.1.

No comments:

Post a Comment