Beberapa waktu lalu, ketika sekelompok cendekiawan, seniman serta tokoh masyarakat dan agama memperingati setahun meninggalnya Gus Dur, Frans Magnis Suseno memberikan testimoninya - tepat setelah Mohamad Sobary menyampaikan monolog dengan diiringi dua orang seniman teater yang ‘memanggungkan’ kekhawatiran dan pertanyaan soal apakah Indonesia akan menemukan seseorang seperti Gus Dur lagi atau tidak. Di akhir testimoni, Frans menyampaikan sebuah lelucon yang pernah dilontarkan Gus Dur, walaupun menurutnya sudah banyak orang yang tahu tentang lelucon tersebut. Ini tentang seorang kiai, pastur, pendeta dan seorang “supir bis”. Dan, mari kita tak usah menerka-nerka sang supir bis ini terafiliasi dengan agama atau keyakinan apa.
Suatu waktu, setelah sebuah bencana membuat keempatnya meninggal di tempat yang berlainan di muka bumi, mereka saling bertemu dan memutuskan untuk bersama-sama menunggu keputusan Tuhan – keputusan tentang apakah mereka akan masuk surga, neraka, atau ‘mengawang-awang’ di tengah-tengahnya. Sambil bergerombol, sang kiai, pendeta dan pastur bertanya-tanya sendiri mengapa mereka harus mengantri sedemikian lama untuk menanti putusan Tuhan. Mereka mulai menimbang-nimbang apa yang sudah dan belum mereka lakukan sekaligus berspekulasi tentang berbagai kekurangan dalam melaksanakan ‘ibadah’ atau ‘amal’. Apakah Ekaristi-ku tak cukup khusyuk? Apakah aku tak cukup banyak berziarah ke makam-makam para Wali Songo? Apakah aku tak didoakan oleh para jemaatku? Atau aku tak cukup sempurna dalam melantunkan Doa Bapa Kami? Bukankah setiap orang selalu berebut untuk mencium tanganku? Dan bukankah sudah tak terhitung lagi berapa banyak orang yang melakukan pengakuan dosa di dalam bilik gerejaku?
Dan, gerombolan ‘alim-ulama’ ini semakin menegang ketika melihat seorang supir bus yang baru datang, tanpa tedeng aling-aling dipersilakan dengan khidmat untuk segera masuk ke surga. Mereka pun protes, dan bertanya kepada Tuhan. Apa jawaban Tuhan? “Tak ada yang berdoa di rumah ibadah kalian. Tapi lihatlah sang supir, ketika ia mulai mengendarai bisnya, banyak penumpang mulai berdoa – dengan sesungguh-sungguhnya.” Semua orang tertawa dan saya tersenyum simpul. Mungkin karena fakta bahwa sebagai pengguna dan penggemar bis Jogja yang loyal, saya tahu bagaimana rasanya adrenalin mengalir kencang di dalam darah ketika bis mulai melaju. Menegangkan, mengasyikkan, mengkhawatirkan, menantang dan justru memberi waktu untuk berpikir secara rasional. Harus saya beri tahu bahwa hampir 75% ide untuk tulisan, makalah, bahkan hingga skripsi yang sedang saya kerjakan sekarang ‘berjatuhan’ dari langit-langit bis Jogja yang hitam kusam terbungkus kerak-kerak polusi yang keluar dari knalpotnya sendiri.
Tetapi, tulisan ini bukan tentang sudah berapa banyak bis yang saya tumpangi di Jogja atau berapa banyak supir bis yang saya kencani - yang mana tidak ada sama sekali. Bukan juga saya sedang menyarankan Anda untuk segera serius menekuni jejak karir sebagai supir bis, tetapi soal kenapa Gus Dur menggunakan supir bis ‘ugal-ugalan’ sebagai prototipe penghuni surga utama di dalam leluconnya – atau siapapun yang pertama kali membuat lelucon tersebut. Kalau boleh saya melanjutkan kata-kata Tuhan, maka mungkin akan menjadi seperti ini: “Jemaat kalian semakin sedikit, dan kalaupun banyak, mereka lebih sering datang untuk sebuah rutinitas yang dihubung-hubungkan dengan tradisi, norma, kebiasaan, bahkan prestise dan citra di depan orang lain. Ajaran-Ku hanya baju kalian, tapi tidak menelusup ke jantungmu, paru-parumu atau ikut beredar di dalam pembuluh darah bersama sari makanan atau udara bersih.”
Apakah memang demikian? Aku rasa ya. Kita terlalu mengada-adakan yang tidak ada. Ketika majelis taklim konsumsinya harus ini, ketika berziarah, ‘sedekah’nya harus ini dan itu, sepulang naik haji hukumnya fardhu ‘ain untuk membawa kacang-kacangan Arab, seperangkat sisha, atau dua galon air zam-zam, atau ketika seseorang mencuri maka serta-merta tangannya harus dipotong. Dan soal potong-memotong ini, yang sering tidak diketahui orang, bahkan masih ada tahapan-tahapan panjang yang harus dilalui seorang cendekiawan untuk memahami konteks dari aktifitas mencuri itu. Apa yang dicuri, dimana mencuri, dari siapa mencuri, berapa kali mencuri dan kenapa mencuri. Selalu ada latar belakang dari setiap keputusan manusia, dan tak benar rasanya jika kita membiarkan diri mencari keadilan dari orang-orang yang tidak, belum atau tidak mau paham tentang keadaan sang pencuri. Kalau Anda mersa bingung, bayangkan saja ungkapan ‘asas praduga tak bersalah’. Kalau masih bingung juga, ada baiknya Anda mampir ke kedai es dawet.
Beda kasusnya dengan sang supir bis. Sebagai seorang manusia yang sering dianggap ‘biasa’ dan ‘kurang krusial’ dalam piramida manusia terhormat, sang supir mampu mengondisikan penumpangnya dalam keadaan kepasrahan, setelah semua usaha telah dilakukan dan mampu membuat mereka melihat keyakinan atau agama yang mereka anut sebagai suatu hal yang ‘mungkin’ dan sebenarnya tidak kompleks atau terlalu menuntut. Contohnya saja saya. Sebelum seminar proposal skripsi, saya belajar keras untuk mempersiapkan diri. Di dalam bis dengan metode mengendarai ‘walau ugal-ugalan, yang penting sampai’ itu, saya memasrahkan diri dan mulai merangkai kalimat-kalimat yang kurang lebihnya seperti ini: “Tuhan, aku datang siang ini kepada-Mu. Berikanlah aku keselamatan dalam perjalanan ini, agar aku dapat tiba di kampus tanpa kurang suatu apa dan mampu memberikan yang terbaik untuk seminar proposal skripsiku. Semoga dari hasil penelitian skripsi ini, aku mampu belajar lebih tentang pengungsi dan memahami situasi mereka untuk kemudian bekerja bagi mereka suatu waktu nanti.”
Mendadak, di dalam bis itu, dimana kita dihadapkan pada kemungkinan kecelakaan atau rasa takut berlebihan ketika sang supir terlihat kurang waspada, kita mulai mengingat lagi harapan-harapan di dalam otak kita dan meyampaikan betapa pentingnya harapan itu kepada Dzat apapun yang kita percaya mengendalikan hidup kita. Tetapi, di saat yang bersamaan, kita juga mulai merancang rencana-rencana penting dan mengapa kita ingin melakukannya serta berharap kita masih diberi kesempatan untuk melakukannya. Cerita di atas bis lelucon Gus Dur inilah yang berperan sebagai cerminan sederhana dari apa yang saya sebut sebagai “agama yang memungkinkan”. Mungkin bagi kita untuk memahaminya, mungkin bagi kita untuk melaksanakannya, mungkin bagi kita untuk meneladaninya, mungkin bagi kita untuk berproses bersamanya dan mungkin bagi kita untuk berbagi pengalaman tentangnya tanpa harus menggurui.
Saya jadi teringat tentang seorang pemuda muslim bernama Kouresh Poursalehi, seorang warga negara Amerika Serikat keturunan Iran yang begitu terpengaruh dengan konsep perlawanan terhadap kemapanan di dalam kultur punk, yang bersama temannya kemudian menggabungkan musik punk dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bercerita tentang kesetaraan dan keadilan. Orang-orang di sekelilingnya banyak yang mulai ‘kebakaran jenggot’ dan mengecam hal ini. Tetapi, apa kata Kouresh? “Saya hanya ingin membuat Islam mungkin bagi saya dan teman-teman saya”.
Sofia Ariani
Yogyakarta, Jum’at, 14 Januari 2011