Tuesday, December 08, 2009

(Possible) Triangular Dynamics - Obama, Israel dan ISu Rasial di Amerika Serikat







Pendahuluan
 "The pundits like to slice-and-dice our country into Red States and Blue States; Red States for Republicans, Blue States for Democrats. But I've got news for them too. We worship an awesome God in the Blue States, and we don't like federal agents poking around in our libraries in the Red States. We coach Little League in the Blue States and yes, we got some gay friends in the Red States. There are patriots who opposed the war in Iraq and patriots who supported the war in Iraq. We are one people, all of us pledging allegiance to the stars and stripes, all of us defending the United States of America. "


Barack Obama


Barack Obama, presiden terpilih dalam Pemilu Amerika Serikat tahun 2008, yang sering digolongkan sebagai politikus jalan tengah, memberi ide perdebatan baru dalam ranah publik tentang satu isu yang sebelumnya tidak populer: ras dan preferensi kebijakan luar negeri. Ini salah satu isu yang tampaknya cukup tepat , sejak ia juga sering dibandingkan dengan Robert F. Kennedy (yang memiliki preferensi kuat untuk membawa isu rasial dalam kampanye politiknya). Fenomena 'pengangkatan isu' yang serupa tapi tak sama juga terjadi ketika Arnold Schwaznegger mencalonkan diri menjadi kandidat gubernur California; the case of 'superstar immigrant' turned politician. Bahkan, akhir-akhir ini Schwaznegger kembali dijadikan subjek spesifik ketika media massa AS secara langsung menggiring publik ke dalam perdebatan mengenai konstitusi AS yang belum mengizinkan seseorang yang tidak lahir di AS dan tidak memiliki orang tua berkewarganegaraan AS untuk mencalonkan diri menjadi kandidat presiden, walaupun ia sudah memiliki kewarganegaraan AS.
Tulisan ini menjabarkan tentang bagaimana Obama, yang bahkan dari awal kemunculannya, telah memberi suntikan tenaga baru bagi perdebatan hubungan rasial di Amerika Serikat serta hubungannya dengan preferensi kebijakan utama Obama selain menghadapi krisis finansial global, yaitu meredam konflik Israel-Palestina.


Pembahasan
"The Obama Factors"
"Go into any inner-city neighborhood, and folks will tell you that government alone can't teach kids to learn. They know that parents have to parent, that children can't achieve unless we raise their expectations and turn off the television sets and eradicate the slander that says a black youth with a book is acting white. "


   Barack Obama


Obama, yang alih-alih memiliki ide spesifik untuk dijadikan tema kampanye, memilih untuk menjadi 'an everyman' di mata publik Amerika Serikat. Ini berarti ia berusaha untuk 'memayungi' semua ras dan golongan di AS secara proporsional, termasuk isu dan masalah yang menyertainya . Dari citra yang cukup berhasil dibangunnya ini, ia kemudian memunculkan gambaran baru tentang menjadi warga negara Amerika Serikat, yaitu tidak perlu tinggal di Amerika Serikat sejak lahir, bisa memiliki saudara yang 'beragam' (karena silsilah orang tua yang tidak sepenuhnya ras kulit hitam) serta cara pandang yang tidak sepenuhnya dipengaruhi budaya pikir Amerika Serikat. Usaha membentuk citra seperti di atas tak akan dapat direalisasikan tanpa peran media massa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung adalah tentang bagaimana Obama 'dibingkai' oleh media massa AS yang akhirnya juga menciptakan mindset dalam benak publik AS. Mindset ini yang nantinya akan ikut berperan dalam membentuk preferensi politik rakyat. Mungkin saja citra ini bisa dibentuk tanpa peran media massa, tapi akan terbatas pada skala kecil yang itu berarti akan sangat 'menyia-nyiakan' media sebagai alat untuk menyebarluaskan nilai ke masyarakat.
Dapat dikatakan, dengan kampanye dan idealisme Obama, ada satu produk budaya pikir Amerika Serikat yang tidak diadaptasi oleh Obama yaitu apa yang disebut sebagai acting white. Acting white adalah sebuah idiom yang sering digunakan para sosiolog yang awalnya merupakan 'produk' budaya pikir urban di kota -kota besar Amerika Serikat seperti New York, Ohio, Los Angeles, Boston, Washington DC, dll. Idiom ini merujuk kepada kaum minoritas yang dianggap bergaya, bertingkah laku, atau berbicara seperti meniru 'the so-called white characteristics'. Idiom' acting white 'seringkali digunakan oleh orang yang satu untuk mengejek yang lain sesama kaum minoritas. Perlu diperhatikan bahwa kaum minoritas yang dimaksud di sini lebih mengacu pada kaum Afro-Amerika, walaupun tidak sedikit ahli yang juga menggunakan idiom ini untuk menjelaskan fenomena sama di kaum minoritas lainnya seperti Asia atau Hispanik. Sebutan orang-orang berlabel 'acting white' sangat diasosiasikan dengan seseorang dari kaum minoritas Afro-Amerika yang memiliki prestasi baik hingga sangat baik, di sekolah yang terintegrasi, sehingga menjadi tidak populer. Karakteristik kulit putih yang disematkan di dalam ungkapan acting white pun sangat beragam.






Simak kutipan dari tulisan Ronald G. Fryer bertajuk "Acting White: The Social Price Paid by the Best and Brightest Minority Students":


"Though not all scholars define acting white in precisely the same way, most definitions include a reference to situations where some minority adolescents ridicule their minority peers for engaging in behaviours perceived to be characteristic of whites. For example, when psychologist Angela Neal-Barnett in 1999 asked some focus-group students to identify acting-white behaviour, they listed actions that ranged from speaking standard English and enrolling in an Advanced Placement or honours class to wearing clothes from the Gap or Abercrombie & Fitch (instead of Tommy Hilfiger or FUBU) and wearing shorts in winter! "


Obama sendiri tentunya memenuhi klasifikasi 'acting white' (jikalau memang dengan cara seperti inilah dia diidentifikasi). Gayanya yang ia anggap sebagai gaya 'noble black' banyak diteladani oleh generasi muda Afro-Amerika; dari Cory Booker, gubernur Iowa hingga sineas Tyler Perry yang terkenal dengan karya-karya drama kulit hitamnya seperti "Diary of A Mad Black Woman" dan "Madea's Family Reunion". Obama adalah seorang siswa cemerlang yang bahkan ketika masih menjadi mahasiswa di Harvard School of Law, menjadi presiden Harvard's Law Review, seorang yang pertama dari kaum Afro-Amerika sepanjang sejarah Harvard's Law Review selama 104 tahun. Ia lulus dengan predikat magna cum laude serta dengan reputasi yang sangat mengesankan yaitu mampu bekerja sama baik dengan kubu liberal maupun kubu konservatif. Tapi nampaknya, Obama tidak lantas menjadi kurang populer karena kecemerlangannya , justru ia adalah 'selebriti besar' di Amerika Serikat, satu hal yang sangat berlawanan dengan gambaran 'acting white'.
Kepopuleran ini kemudian ia gunakan untuk membentuk preferensi politik sekaligus alat mendulang dukungan masyarakat atas kebijakan yang nantinya akan ia keluarkan yang berhubungan dengan sentimen ras, bangsa, dan perdamaian dunia. Kenyataannya, ia digambarkan dengan cukup baik oleh media bukan sekadar sebagai kandidat presiden Amerika Serikat yang nantinya akan dapat dipilih oleh rakyat tapi juga sebagai kandidat presiden Amerika Serikat yang dapat dipilih karena mampu membawa perbedaan. Perbedaan itu bisa jadi bersumber dari isu rasial spesifik yang dibahas dalam tulisan ini; ia dianggap memiliki kekuatan retorika dan aksi yang kuat untuk ikut berperan dalam menghapuskan 'mitos' acting white atau bahkan sesuatu yang lebih baru seperti islamofobia, anti-arabisme atau kompleksitas hubungan Yahudi dan Arab.


Obama juga seperti membuktikan bahwa menerima ide tentang acting white hanya sebagai gejolak sepele isu rasial adalah salah. Ia sendiri pernah merasakan hal ini ditujukan kepadanya. Ia mengetahui dengan baik apa akibatnya serta bagaimana tidak nyamannya diasosiasikan dalam masyarakat sebagai orang yang menyandang predikat seperti itu. Seharusnya , tidak ada yang salah dengan membangun kepribadian yang baik dan cemerlang. Tidak ada yang salah dari menjadi siswa atau siswi yang mendapatkan nilai yang baik karena kecerdasannya. Dan yang lebih penting lagi, tidak ada yang salah dari menjadi seorang Afro-Amerika. Obama bisa jadi adalah tumpuan harapan warga Amerika Serikat yang baru, sejak media massa Amerika Serikat gencar mengekspos latar belakangnya yang multikultur dan multiras sebagai modal yang dimilikinya untuk memahami dan menyelesaikan kekompleksitasan masalah rasial, tidak hanya domestik tetapi juga internasional.






Mengutip pernyataan Harry Emerson Fosdick, "Demokrasi didasarkan pada keyakinan bahwa terdapat kemungkinan-kemungkinan luar biasa dalam rakyat biasa". Salah satu kemungkinan luar biasa itu adalah munculnya perdebatan ide tentang siapa itu warga negara Amerika Serikat secara umum, bukan didasarkan pada identitas etnis atau ras . Bukan didasarkan pula pada harus seperti apakah seorang Afro-Amerika atau Hispanik, tapi lebih sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan Konstitusi Amerika Serikat. Obama secara sadar memasukkan hal ini ke dalam kampanye anti mitos rasialnya. Ia sangat mengetahui bahwa sekali lagi , peran media massa sangat penting untuk menjalankan fungsi pembentukan opini publik, pembelajaran, cermin masyarakat dan ruang debat publik.
Retorika Erazim Kohak dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana ide-ide di atas dapat disandingkan bersama dan ditarik benang merahnya, "Demokrasi adalah soal kematangan, bukan kedangkalan; itikad baik, bukan pertikaian; idealisme, bukan keserakahan". Pada akhirnya, bukan saja Obama yang harus bekerja keras tapi seluruh masyarakat Amerika Serikat yang harus menilai apakah mitos yang dikaitkan dengan ras adalah lebih didasarkan pada kematangan atau kedangkalan, apakah itu merupakan perwujudan itikad baik atau akan menimbulkan pertikaian, dan apakah itu secara tidak langsung lebih mewakili pikiran penuh 'keserakahan' untuk memenuhi kepentingan pribadi atau golongan.






Obama & Isu Rasial di Amerika Serikat
Obama jelas menjadi sorotan besar-besaran oleh media belakangan ini. Mau tidak mau, ia dihadapkan oleh pemikiran positif atau negatif tentang dirinya karena peran pemberitaan media. Obama kemudian memiliki dua identitas dalam dunia media, figur yang kontradiktif maupun proaktif bergantung pada kualitas dan kuantitas pemberitaan dari media massa yang akhirnya dapat membentuk preferensi politik masyarakat. Beberapa di antaranya yaitu seringnya media massa Amerika Serikat mengaitkan Obama sebagai pembawa semangat black empowerment, seperti layaknya 'the next Jesse Jackson'.
Namun, yang membuat Obama menjadi figur kontradiktif dalam isu ini adalah kenyataan bahwa ia mengunjungi The Trinity United Church of Christ di Chicago dan tidak ditutup-tutupi olehnya. Pemimpin gereja tersebut, Pendeta Jeremiah Wright terkenal sebagai pemuka agama yang cenderung menyuarakan ketidakutamaan ras kulit putih termasuk sentimen anti-Semit yang seringkali ia nyatakan dalam setiap khotbahnya. Media membingkai Obama sebagai salah satu anggota gereja ini dengan bukti bahwa buku keduanya, The Audacity of Hope, banyak mengambil retorika Wright. Sebuah bukti yang sangat jelas bahwa ia sangat terinspirasi oleh pemimpin spiritualnya tersebut . Obama bisa saja memilih gereja lain, sinagog, atau bahkan masjid untuk melengkapi rumor yang beredar tentang keterkaitannya dengan gerakan fundamentalis Islam. Tapi dengan memilih Gereja di Chicago tersebut, dia membentuk opini publik tentang keanggotaannya di gereja kontroversial. Wacana ini kontra dengan pribadi yang coba dibangun Obama yaitu "a man for everyone". Obama juga digambarkan sebagai seorang Afro-Amerika yang cenderung 'acting white'. Akibatnya, Afro-Amerika pun terbagi dua, mendukung gaya 'noble black' ini dan yang lainnya menganggap Obama tidak terlalu "hitam ".






Tetapi, kenyataan bahwa ternyata Obama adalah kandidat yang paling didukung oleh kaum Arab-Amerika kemudian jelas membuatnya berpikir dua kali untuk tetap menjadi anggota gereja yang telah ikut membentuk citranya selama ini. Obama sepertinya menyadari, bahwa apabila ia meneruskan untuk loyal terhadap Wright, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintervensi konflik Israel-Palestina (karena kecenderungan anti-Semit Wright jelas akan berdampak buruk bagi usaha pendekatan Obama ke pihak Israel) sekaligus kehilangan dukungan kaum minoritas di seluruh dunia. Karena itu, ia memutuskan untuk keluar dari keanggotan gereja ini sejak 2007 yang lalu.


Obama & Israel
Idealisme anti mitos diskriminasi rasial yang cukup sukses diusung oleh Obama jelas akan sangat mempengaruhi langkah-langkah awalnya dalam mendapuk peran sebagai Presiden Negeri Paman Sam. Di waktu yang bersamaan, ketegangan di dalam populasi Timur Tengah, antara dunia Arab dan Barat, sepertinya terus berlanjut di dalam konflik Israel-Palestina. Administrasi Bush sepertinya telah menelantarkan tujuannya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah. Walaupun begitu, untuk beberapa alasan, Bush masih berusaha mempreservasikan kerangka persetujuan Israel-Hamas untuk berunding yang dikeluarkan pada November 2007 di Annapolis, Maryland; kemungkinan besar sebagai alat populisme.
Konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung sangat lama dan berlarut-larut sepertinya telah dengan signifikan menghapuskan optimisme kedua belah pihak untuk mengadakan perundingan damai. Kelompok akar rumput dari kedua belah pihak yang awalnya sangat menekankan perdamaian, terasa kurang begitu terlihat lagi. Ketidakpercayaan mendalam yang dialami kedua belah pihak terhadap satu sama lain semakin berkembang apalagi sejak Hamas menyapu bersih kursi parlemen Palestina pada Januari 2006. Di lain pihak, jajak pendapat yang dilakukan oleh badan Gallup menunjukkan bahwa ternyata sekitar 2 / 3 jumlah orang Israel (63%) dan orang Palestina ( 66%) yang menjadi peserta jajak pendapat bersikap sangat kuat mendukung proses perdamaian.
Kelemahan pemimpin Israel dan Palestina dewasa ini sangat terlihat dari perolehan dukungan publik bagi mereka. Hanya sekitar 37% orang Israel yang mengatakan bahwa mereka mendukung kepemimpinan pemimpin Israel setelah Perdana Menteri Ehud Olmert turun dari jabatannya. Selebihnya, rakyat Israel dan juga Palestina bereaksi tak jauh berbeda : kecewa akan tingkat kredibilitas pemimpin yang dianggap sangat rendah. Tetapi, ini adalah pintu kesempatan bagi Obama untuk melancarkan rencana kebijakan luar negeri dengan timnya yang diharapkan akan muncul sebagai pemimpin proses perdamaian yang kuat dari awal mula sekaligus menjadi lahan baru bagi Obama untuk meneruskan misi anti mitos dan diskriminasi rasial yang telah dan masih ia jalankan di Amerika Serikat. Pintu kesempatan ini mungkin akan semakin lega untuk dimasuki jika Hillary Clinton, yang tidak asing dengan panggung politik internasional dan isu konflik bersenjata, kemudian menyandang posisi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.
Bahkan, selama kunjungannya ke negara-negara Timur Tengah pada masa kampanye presiden, Obama menyampaikan pernyataan bahwa ia akan mengusahakan terobosan negosiasi damai antara Israel-Palestina di hari pertama administrasi jika ia terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Nampaknya ini akan dapat mengikat publik dunia, kalau saja krisis finansial global tidak serta-merta membuat Obama mengalami dilema dalam memprioritaskan kebijakan awal.






Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh pemimpin Amerika Serikat dalam usahanya menjadi 'peacebroker' bagi konflik Israel-Palestina adalah kurangnya rasa percaya dari sisi warga Palestina. Presiden sebelum Obama yaitu George W. Bush pun mengalami hal yang sama. Pada tahun 2007, hasil jajak pendapat badan Gallup menemukan bahwa sekitar 95% warga Palestina kurang mempercayai Bush. Tetapi, ini mungkin akan menjadi jauh berbeda dengan terpilihnya Obama. Keberhasilannya memberi nilai baru dalam hubungan rasial di Amerika Serikat mendapat simpati dari berbagai kaum minoritas lain seperti Hispanik, Asia, Eropa hingga kaum minoritas di luar negeri seperti imigran kulit hitam di Prancis, dll. Ini bisa jadi adalah titik terang bagi usaha mengurangi rasa ketidakpercayaan orang Palestina terhadap Amerika Serikat (dapat dirumuskan seperti ini: jika Obama menghormati aspek keberagaman di negaranya, maka ia pasti akan, setidaknya , melakukan hal yang sama d negara selain Amerika Serikati) dan mempersilakan Obama ikut menentukan jalannya proses perdamaian.
Implikasi hasil jajak pendapat badan Gallup yang telah disebutkan sebelumnya terhadap rencana kebijakan Obama belum dapat ditentukan secara pasti. Diantara orang-orang Israel dan Palestina, mayoritas secara kuat meyakini pentingnya perdamaian secara prinsipil. Tetapi, di satu sisi, mereka sendiri tidak memiliki visi akan perdamaian di masa depan, yang bisa jadi menguapkan partisipasi mereka untuk melakukan berbagai inisiatif dan usaha menuju perdamaian itu. Pemerintahan Obama yang baru seumur jagung mungkin memiliki kesempatan untuk mempengaruhi mindset tersebut dengan memperlihatkan bahwa di bawah administrasinya, Amerika Serikat dapat menjadi moderator yang powerfull dengan dukungan internasional yang kuat sekaligus memiliki posisi yang lebih seimbang diantara warga Palestina dan Israel serta ditambah dengan wacana anti diskriminasi rasial yang mampu memunculkan pendar-pendar optimisme.






Penutup
Layak untuk dirumuskan bahwa idealisme Obama tentang keutamaan setiap ras tanpa harus memenangkan salah satunya jelas berpengaruh terhadap preferensi kebijakan politiknya untuk mengintervensi konflik yang berlarut-larut seperti konflik antara Israel dan Palestina. Terutama terhadap Israel, Obama berusaha untuk mengajukan lobi-lobi agar negara ini bersedia ikut serta dalam gelombang anti sentimen ras yang ia ciptakan. Kemudian, ia juga akan berusaha untuk mendapatkan kepercayaan rakyat Palestina setelah usaha pendekatan terhadap Israel telah mencapai titik yang terang. Ia melihat, dengan melakukan hal ini, maka secara tidak langsung akan mengurangi kekompleksitasan masalah ras di Amerika Serikat.
Dalam skala kecil, Obama menggunakan dirinya dan asal-usul rasnya sendiri untuk menarik perhatian. Dapat dikatakan sebagai berikut: "Ketika Obama berkomitmen untuk mendamaikan hubungan Afro-Amerika dengan kulit putih di Amerika Serikat maka itu berarti ia juga harus berkomitmen terhadap konflik rasial di luar negeri karena idealisme Obama berarti menekankan pentingnya nilai-nilai perdamaian di seluruh dunia ". Kemudian, dengan rencana kebijakan ini pula, Obama mungkin akan mampu mematahkan pola diskriminasi rasial yang seringkali terjadi di negara penganut demokrasi sekuler seperti Amerika Serikat itu sendiri.






Referensi:
1. Referensi Literatur
 Cappella, JN and Jamieson, KH 1997.The Spiral of Cynicism: The Press and The Public Good. New York: Oxford University Press.
 Miall, Hugh, et. Al; Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras; 2002; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
 Wilson, James Q. 2002. American Government, 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.


2. Referensi Internet
 Fox, B; "First Black Elected to Head Harvard's Law Review"; New York Times Daily; February 6, 1990;
.
 Fryer, Ronald G; "Acting White: The Social Price Paid by the Best and Brightest Minority Students; 2006;

 Muslim, Encep Azis; Isu Rasial Membayangi Barack Obama; Harian Umum Pelita (online); http://www.hupelita.com/baca.php?id=50183, 25 November 2008.
 Obama, Barack; Keynote Addres at the Democratic National Convention, 2004, Barack Obama Website,
.
 Syuhud, A. Fatih; Islam-Fobia dan Rasisme Demokrasi Sekuler; Refleksi dan Blog Tutorial A. Fatih Syuhud; 25 November 2008;
. (Dimuat juga di dalam Artikel OPINI, Harian Waspada, Edisi 25 September 2005).
 Lasky, Ed; Barack Obama and Israel; American Thinker; November 18, 2008;
.
 Wells, B. Wallace; Destiny's Child; Rolling Stone Blog; February 7,2007,
.
 Opinion Briefing: Israeli-Palestinian Conflict; Gallup Poll; 2008;